Mencari Syamsuddin at Thabriz

Posted: Rabu, 04 November 2009 by Divan Semesta in
0

Entah, saya tidak mengingat judul filmnya apa, tetapi yang jelas malam itu saya tidak merubah-rubah saluran televisi seperti lazimnya. Sebuah film tampak di layar liquid, menarik sekali dan pemainnya anak-anak kecil yang benar-benar cantik yang tentu saja menarik.

Sebuah film yang bercerita tentang bagaimana menghidupkan mimpi, bahwa dunia ini tidak hanya bisa dinikmati oleh indera, tetapi oleh fantasi, dan di pertengahan muncullah sebuah dialog unik.

Seorang anak lelaki ditanya: kenapa wajahmu muram?“Karena aku malas pergi ke gereja,” jawabnya santai. “Untuk apa pergi ke tempat yang tak kau percaya?” ia menambahkan.“Aku senang-senang saja pergi ke tempat itu,” Sang anak perempuan pun menyela. “Karena aku tidak membebani diriku untuk percaya atau tidak.”

Lantas anak lainnya di antara mereka mempertanyakan. “Mengapa kau tidak mempercayai Tuhan? Bukankah itu dosa dan kau nanti akan masuk neraka”

Perempuan yang ditanya tersenyum riang. “Aku yakin tuhan itu tidak disibukkan untuk memperhatikan kita, karena Tuhan sudah sibuk mengurus hukum alam.”

Sahabatku terpengaruh oleh senyum perempuan kecil yang riang itu. Rupanya hal itu yang ingin dimasukkan oleh sang penulis scenario film. Sahabatku memandang diriku. Aku tak memandangnya. Kami sama-sama tahu bahwa dunia memang diisi oleh pertarungan ide dan salah satu syarat untuk survive/memenangkan hidup adalah: kita tak boleh cengeng. Kita tak boleh cengeng, mengeluh tentang banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak bisa kita jawab.

Untuk menjawab pertanyaan sang anak perempuan, aku yakin kalian bisa menjawabnya. Bagi kita pertanyaan itu terlalu gampang dan dan tidak mungkin membuat gamang karena kita mempercayai bahwa sang Pencipta memiliki satu system untuk tetap memonitoring pengakuan keimanan manusia (peratikan statement: Tuhan tidak disibukkan untuk memperhatikan kita karena tuhan sudah sibuk mengurus hukum alam) tanpa harus Ia terbungkuk, terjangkit asthma dan terkena tbc seperti halnya satpam tua yang kebanyakan menghisap bako (tembakau) sembari memonitoring situasi melalui cctv.

Allah memiliki system yang --kita yakini-- sangat canggih untuk dapat melakukan multitasking, memonitoring banyak hal dan hal ini sudah dijawab dalam Al Quran.

***
Ada-ada saja manusia jika berbicara dan bertanya. Diantara manusaia pernah ada yang menginginkan untuk menjadi malaikat, dan ada pula yang menginginkan menjadi Tuhan.

“Enak ya jadi Allah,” kata seorang pria sambil menjentikkan rokok putih pada asbak bamboo.

“Memang kenapa?” tanya temannya. “Dimana enaknya?”

“Ya enaklah jadi Allah, soalnya kita bisa liat cewek-cewek yang mandi telanjang di jamban. Bisa ngelongok toket yang disembunyikan bra.”

Kedua orang pria itu ngakak. Lalu, selang beberapa detik kemudian petir menyalak, glegar!

Mereka langsung berlari. Wajah keduanya pias. Dan setelah lari cukup jauh mereka istirahat sambil mengangkat tangan di kepala, ya hampir mirip dengan gaya jonggos ketika bertemu preangeplanter majikannya, sambil menguik.

“Itu kenapa ya? Kenapa bisa ada petir ya?”
“Allah marah kali ke kita,” kata temannya.

Kedua orang itu merinding.

Aneh, aneh saja manusia.

Ada lagi yang menggunakan hal-hal absurd dalam leluconnya. Ketika bermain judi acapkali kita melihat orang-orang mengoyang-goyang bahu sebelah kirinya. Hal itu mereka lakukan supaya malaikat salah menuliskan perilaku yang secara tidak langsung mereka akui keburukannya. Tidak cukup di sana, adakalanya seseorang mengajak untuk bermain di sebuah tempat.

“Hayu, hayu kita ke bawah atap seng. Kita main judi disana.”

Saat teman-temannya bertanya kenapa, keluarlah pernyataan kalau maen judi di bawah seng aman sebab, “Nggak mungkin keliatan Tuhan,” sambil menunjuk ke atas.

Dan awan pun bertumbukkan. Guntur menggelegar.

Sahabatku, mengatakan cerita yang kudapatkan dari seorang teman itu merupakan peristiwa kebetulan, tetapi aku mengatakan tak tahu.

Bisa kebetulan bisa pula teguran wallahualam.

Bagaimanapun juga (adanya teguran atau kebetulan) seseorang yang mengaku beriman kadang tak pantas untuk mengungkapkan hal-hal yang terkesan menyepelekan sesuatu yang diagungkan olehnya (atau menyepelekan perbuatan-Nya).

Biasa sajalah berbicara, tak usah terlalu gaya. Karena gaya seperti itu tak berguna bahkan untuk megeroposkan keyakinan seorang manusia, ya setidaknya manusia seperti kita.

Sebuah radio pernah mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dengan omongan, karena omongan bisa membuat kita murtad/keluar dari Islam berkali-kali.

Omongan seperti itu mampu membuat hati menjadi batu atau seperti halnya besi, menjadi karat.

Mungkin, dipikir orang-orang yang suka guyon tentang Tuhan, penyiar radio tersebut tidak pernah berpikir ekstrem dalam melakukan pengembaraan. Inti kata, sang penyiar tidak pernah memiliki keberanian.

Mungkin saja, tapi tidak untuk Salahuddin Lc. Sang penyiar dengan gelar Lc. Dibelakang namanya.

Suaranya, seringkali terdengar saat aku merebahkan tubuhku. Suara lelaki yang konon lulusan Yaman itu terdengar lembut dan tegas tetapi ia tidak terkesan seperti tukang khotbah yang yang dari mulutnya keluar api. Ia terdengar santai, jawaban-jawabannya sarat oleh ilmu bahkan tidak hanya itu saja, aku rasa ia memang seorang pemikir yang menggali banyak perenungan mengenai ketuhanan bukan saja dari Al Quran dan hadist tetapi melalui pengalaman hidupnya.

“Ustadz, kenapa Allah menurunkan para nabi bukannya turun sendiri untuk membereskan permasalahan dunia?” Tanya seseorang saat ia mengasuh sebuah rubric radio di malam hari. “Kalau dia yang turun sendiri permasalahan di dunia ini pasti beres sudah.”

Tak ada emosi. Sang Ustadz sepenuhnya terkendali. “Pernyataan semacam itu, sudah ada sejak zaman dahulu kala,” ujarnya. “Memang bukan tentang Allah tetapi mengenai malaikat. Al Quran menjelaskan bagaimana orang-orang kafir bertanya mengapa malah kamu (nabi) yang diturunkan Allah. Padahal kamu tidak berbeda. Kamu manusia yang sama seperti kami. Mengapa tidak malaikat saja yang diturunkan Allah?”

“Pertanyaan orang zaman sekarang mungkin terkesan lebih canggih karena mereka bukan saja menginginkan malaikat untuk membereskan masalah, melainkan menginginkan Allah yang langsung datang ke hadapan (mereka).”

Sang Ustadz, mengambil nafas. Saat itu saya mulai berpikir bahwa ia akan menambahkan jawaban: jangankan manusia seperti kita, Musa sang utusan terpilih saja tak mampu melihat kilau cahaya-Nya. Ternyata, tidak. Ia menjawab di luar perkiraan.

“Pertanyaan itu (mengapa tidak Allah saja yang turun/malaikat) tidak ada bagi Allah. Ia tidak akan pernah ditanya mengapa ia melakukan suatu perbuatan, karena yang akan di tanya itu adalah dirimu. Yang akan di tanya itu adalah manusia. Kita!”

Dalam bahasa kasar ala bandung Cicadas, mungkin sederhananya adalah: Kumaha aing we sia! Karena Allah memang lebih berkuasa atas kita. Karena Allah tidak sama dengan manusia ciptaannya yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Jawaban itulah yang membuat saya memiliki keinginan untuk menemui sang Ustad. Jawaban itulah yang membuat saya menyimpulkan bahwa dia sudah pernah melalui titik ekstrem di dalam pemikiran dan melakukan pengembaraan dalam diskusi-diskusi teologis yang filosofis.
Seperti halnya Jalalludin Rumi, yang tak lekang untuk mencari sahabat sekaligus guru tercintanya, Syamsuddin at Thabriz maka akan saya peringatkan kalian, bahwa orang-orang seperti yang seperti saya ceritakan itu sangatlah langka, dan karena keterbatasan edisinya, carilah mereka, temuilah mereka dimanapun kau berada.

0 komentar:

be responsible with your comment