Ketika saya ta'aruf dengan calon istri saya waktu (alhamdulillah sekarang sudah menjadi istri saya) ada satu isu "sensitif" yang dibahas : wanita/ istri bekerja.Dia ingin tetap bisa bekerja kalau sudah menikah nanti. Karena itu sesuatu yang bisa didiskusikan untuk saya, saya pun tidak keberatan. Catatan saya asal keluarga tidak terbengkalai.
Dasar pemikiran saya pada waktu, banyak kok yang ibunya bekerja tapi anak-anaknya terdidik dengan baik; tidak aneh-aneh. Selain itu juga ada juga yang ibunya tidak bekerja/ ibu rumah tangga anak-anaknya tidak terdidik dengan baik.Ketika saya menikahi istri saya, dia sedang menempuh S2 di FSRD-ITB. Sehingga di tahun pertama saya mengalami PJKA. Pulang Jumat Kembali Ahad.
Setelah setahun, dan kuliahnya tinggal tesis saja, dia pun ikut berkumpul dengan saya di Tangerang. Dia tidak pergi begitu saja. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen di sebuah universitas swasta di Bandung dan meninggalkan kesempatan menjadi PNS di kota kembang tersebut. Sementara di Tangerang belum ada jaminan kalau dia bisa bekerja lagi. Dia ingin berkeluarga secara utuh, tidak menjalani hubungan long distance dan ingin menjadi seorang istri.
Mulailah rutinitas sehari-hari : ngerjain tesis, ngurusi suami, bersih-bersih rumah, mencuci dan memasak.Setengah tahun kemudian, di sela-sela usahanya mengerjakan tesis, ada sebuah tawaran menjadi dosen di sebuah universitas swasta di bilangan Meruya, Jakarta. Kebetulan universitas tersebut baru membuka program studi arsitektur. Istri saya yang berlatar belakang desain interior diterima sebagai tenaga pengajar.
Mulanya dia ditawari untuk menjadi dosen tetap. Lagi-lagi tawaran itu tidak diterima dulu. Dia ingin jadi dosen luar biasa saja. Alasannya karena waktu itu dia mempersiapkan diri untuk mempunyai anak/ belum mempunyai anak. Selain di program studi arsitektur, dia juga diterima di fikom-nya.
Setelah lulus S2, beberapa bulan kemudian dia hamil. Selama mengandung dia tetap menunaikan tugasnya sebagai dosen (sebagai candaan, anak kami itu sudah lulus beberapa mata kuliah desain yang dibawakan oleh ibunya). Lagi-lagi dia membuat sebuah pilihan yang tidak populer. Dia memutuskan untuk berhenti dulu dari mengajar karena ingin fokus pada anaknya. Mulailah dia menjalani peran sebagai ibu. Menyusuinya, memandikannya, membersihkan "pup-nya" dan lain-lain.
Dia begitu menikmati perannya sebagai ibu. Selain itu dia masih menolak untuk adanya pembantu. Dia ingin memastikan anaknya terawat dengan baik dengan tangannya sendiri. Apalagi di saat memasuki bulan ke-7 dimana anak kami mulai diberi makanan tambahan.
Ajaibnya, anak kami tidak suka bubur bayi instan yang ada di pasaran (kalau neneknya bilang sih "orang kampung"/ ndeso; sukanya nasi). Istri saya bertambah kegiatannya. Membuat bubur bayi yang benar-benar berkualitas. Berasny diblender/ dihancurkan, dicampur ati, sayur-sayuran dan menungguinya selama proses memasaknya.Saya tahu pilihan-pilihan yang dia ambil sekarang itu bukan pilihan populer di saat sekarang. Apalagi dia lulusan S2 dari sebuah perguruan terbaik di negeri ini (maaf bukan maksud untuk berbangga diri ).
Segala yang sudah dia pilih dan dilakukan, kalau diekstrak hasilnya : dia ingin anaknya sehat secara jasmani dan rohani, menjadi anak yang sholeh dan pintar. Itu saja. Dan menurutnya, kalau ingin berkarir lagi mungkin ada saatnya lagi atau bisa saja dia melakukan pekerjaan* lain yang bisa dilakukan di rumah. Dan tulisan ini pun saya persembahkan untuk dia.
(dibajak oleh divansemesta
dari gangdelima40.multiply.com)
Thanks dah dibajak tulisan saya...
secara konten kasta-nya masih jauh dibandingkan yang ada di sini :)
Nuhun pisan...
hasan abadi kamil
www.gangdelima40.multiply.com