Papa Don't Preach

Posted: Selasa, 12 Mei 2009 by Divan Semesta in
5

Saadi atau Rumi pernah berkata:
“Kau lalau bersyukur untuk agama
Sebab kau menerimanya dari bapakmu.
Bagaimana orang yang menerima warisan tahu
Mengenai nilai sebuah kekayayaan?”
SEJAK dulu sy selalu menahan diri untuk les bahasa Inggris di EF. Buat orangtua sy yang memahami pentingnya bahasa Inggris biaya course di EF biasa saja. Bapak sy selalu bilan, sok aja… (bukan sok belagu tapi sok dalam artian silahkan). Tapi buat sy, meski ada yang bersedia membiayai biaya untuk les di EF terlalu mahal, maka keinginan itu sy tahan-tahan lagi pula di Jatinangor mana ada EF dan untuk mengorbankan waktu ke bandung bolak-balik, sy tidak terlalu heroic seperti halnya anak-anak Laskar Pelangi itu.
Dan keinginan les di EF itu memang tidak memungkinkan lagi. Bukan karena bapak sy di phk dari tempat kerja --tidak ada lagi yang membiayai--, melainkan waktu ada kesempatan bertanya langsung ke kantor lembaga tersebut, sy langsung kecewa. Bukan karena metode pembelajarannya, melainkan entah waktu itu saya memang lagi buruk sangka.
Waktu bertanya-tanya mengenai biaya sy kok seperti ditaksir-taksir, ni anak dekil apa punya duit buat bayar les di EF. Kayaknya nggak deh. Kok sy merasa seperti dilecehkan. Padahal siapa yang tahu hati orng kan?
Tapi jangan terlalu dipikir, kan sy mengakui waktu itu saya masih suka berburuk sangka dan rasis (karena kebanyakan yang sy lihat kursus di sana orang Cina).

***
Pulang dari EF sy mengantungi brosur dan penjelasan mengenai biaya. Sy tak tertarik, tapi supaya disangka bahwa sy punya duit, dan tengah menimbang-nimbang sy meraih brosur (padahal waktu keluar dari halaman EF sy sudah menutup diri selamanya).
Dan untunglah tak berapa lama, setelah berburuk sangka dilecehkan itu, sy bertemu dengan salah seorang mahasiswa baru --yang karena saking seringnya dia maen ke kosan—sy jadi tahu kalau dia pandai cas cis cus, cang cing cong bahasa Inggris.
Hm keren, saya tanya dimana lesnya? Di pare (hm di tempat sy pare itu sayuran yang paitnya hwarakadah)
”Bayarnya berapa?”
“Rp….”
Halah! benar-benar jauh dari EF atau LIA apalagi Nadia, atau Susana dan Ooy.
Dan semenjak itulah saya selalu mengatakan bahwa saya harus ke sana! Dan Tahukah berapa tahun yang sy nanti untuk bisa belajar di Pare? Satu atau dua taun? Nei-nei, enam atau tujuh tahun saudara ( baru terlaksana setelah saya tinggal di Malang).
Dan apa yang saya dapatkan? Kemampuan dan kesok-sokkan Inggris tentunya.
Tapi,--sekali lagi-- bukan itu yang ingin sy bagi.
Setelah sekitar dua bulanan latihan conversation di sana, di pikiran sy terkumpul beraneka informasi yang jauh-jauh hari sy tumpuk di kepala.
Kebanyakan orang yang punya kemahiran bahasa Inggris supel (ini untuk menyebut pergaulan antara pria dan wanitanya teramat longgar), pikirannya rada liberal, dan gayanya tentu saja.
Saya terpikir mengapa sampai seperti itu. Di Pare sy sempat diajari tentang cross cultural understanding, pelajaran menarik mengenai culture di Amerika dan Eropa, sy pun teringat lagi kebelakang waktu smp pas les di LIA sya pernah diajarkan hal yang sama.
Awalnya memang baik, tapi sy kok saat ini sy melihat jelas ada penetration pacifique di sana, penetrasi luar biasa halus yang dilakukan oleh peradaban yang berkuasa melalui budaya.
Coba perhatikan formatnya:
Dalam setiap corner amerika pasti kita menemukan program pemutaran film dan debate, mengolah vocab dan conversation dengan permainan yang menarik, gathering yang di dalamnya ada pertunjukan music menggunakan gitar atau piano atau biola, dan sesekali melibatkan orang-orang eropa, Australia atau amerika sebagai native speaker.
Dalam acara itu tentu conversation yang bermain. Dan dalam conversation native speaker dan mentor yang mahir berbahasa inggris (sekali lagi) pada umumnya memiliki pola pikir liberal. Peserta yang kebanyakannya memiliki bahasa inggris pas, pasan tentu kebanyakan hanya mendengar, dan kalaupun sudah mulai bisa mengajukan pertanyaan, pikiran biasanya lingkungan yang menarik sudah mulai merubah pola fikirnya.
Hal ini membuat sy mewajarkan, kenapa kebanyakan orang yang memang expert berbahasa inggris rata-rata gayanya ke-eropa, amerika, atau ke Australia-australiaan. Dan rata-rata dari sahabat-sahabat kita itu tidak memahami bahwa akar atau radikalisme merupakan sebuah kekayaan.
***
Sy bersyukur bisa aktif berbahasa inggris setelah sebelumnya saya mengetahui kekayaan warisan saya. Sy memahami itu sehingga bahasa inggris menjadi sebuah alat untuk menyerap pengetahuan, bukan mempraktikkan sebuah kebudayaan.
Mungkin banyak orang yang tidak cocok dengan pemahaman ini. Tapi pemahaman ini sungguh berguna setidaknya bagi keluarga kami.
Nantinya, sy tidak akan melibatkan Nyawa adalam kursus bahasa Inggris yang sarat dengan program CCA nya. Nyawa baru boleh mengikuti segala macam club dengan native speaker seandainya dia sudah benar-benar memahami bahwa dia memiliki warisan…
tidak-tidak …maksud sy
Sy akan melepaskannya setelah dia telah mengerti harga sebuah kekayaan,
usai melakukan pencarian.

5 komentar:

  1. Menurut hemat saya..
    dari pada yang mana daripada Cros Cultural Understanding adalah merupaken sebuah proses dua arah!

    ada dua ide pokoknya Cros dan understanding, biar mereka mengerti budaya (warisan) kita, biar kita mengerti budaya mereka!
    saya tidak melihat proses satu arah (doktrin budaya)

    understanding pun adalah sebuah proses, dan bisa berkembang sejalan waktu dn informasi yang bertambah!

    meskipun eropa pernah mengalami masa kegelapan saat dinasti islam dalam masa keemasannya, tidak semua budaya eropah buruk, disitulah diperlukan pemahaman

    toh warisan budaya kita tak semuanya baik juga!

    semoga nyawa tidak hanya pandai berlogika seperti bapaknya, tapi juga pandai melihat dengan cinta seperti Om nya! hehehe...

  1. Hm :)

    Gimana kalau sy tegaskan gini aja ke anak sy, Djay:

    "Nyawa, cintailah eropa, cintailah timbuktu, setelah kau mencintai warisanmu (maksudnya memahami, meyakini, mencintai konsep keislaman, sukur-sukur menjalankan)."

    Cintailah bahasa Inggris setelah kau memahami benar-benar warisan (islam) supaya kau hanya mengambil sisi baik dari Eropa dan Timbuktu.

    Sebenernya Pandanya Nyawa punya hati juga. Thx

  1. Ohya, makasih udah mencover yang nggak di cover "Papa dont Preach," ... nice djay...

  1. ya..ya. setuju.
    belajar english nggak mesti tuturutan budayanya orang bule.

    Kan beda warisan resep kecap bango indonesia dengan warisan resep soup campbell amerika.
    hehe :p

be responsible with your comment