Rascal Brother

Posted: Jumat, 17 April 2009 by Divan Semesta in
0

DI AWAL awal pertemuan dengannya, segala ‘news peak’ tentang dirinya hilang. Maklumlah namanya Christina Sitindjak, sehigga sy berpikir akan berhadapan dengan wanita kristiani berwajah persegi dengan dialek yang kental daru Toli Toli atau pulau Samosir.

Di waktu lalu itu saya benar-benar mempersiapkan diri menghadapinya. Dan ketika pada saatnya tiba, ketika pintu ruangan interview terbuka, saya dihadapkan pada seorang wanita berwajah manis dan rambutnya terlindungi kerudung.

Satu persepsi yang telah saya bangun di pikiran, runtuh. Dan saat ia berbicara… ya, ampun logatnya Sunda. Di detik itu pun saya merasa nyaman sehingga ketika dia menguji dengan beberapa pertanyaan, sy merasa bisa menjawab dengan baik.

Itu kesan pertama.

***

Entah bagaimana kami membicarakan permasalahan teologi di ruangannya. Banyak pertanyaan liar yang ia ajukan mengenai keberagamaannya. Ia pernah meniti wilayah yang sama dengan wilayah yang pernah sy teliti dan gali. Dan lagi-lagi sy tersenyum, ketika dengan serta merta mengutap-ngutip Freud, dan bahkan olala (lagi-lagi) si filsuf palu Nietzche.

Perbincangan itu membuat mata sy berkaca-kaca. Hm, bukan hanya karena Nietzche-nya, tetapi karena saya merasa memiliki resonansi yang sama, merasa memiliki teman dialog di tempat kerja yang seperti ‘savana’.

Saya masih hendak melanjutkan cerita wanita yang sering sy panggil Mam dan dia memanggil sy My Son itu. Tapi sy hendak menceritakan sebuah kejadian dulu.

***
Tahukah kamu? Shout our di blog sy membuat sy terharu. Sy merasa di perhatikan. Entah dari mana teman-teman mengetahui keadaan sy selama dua hingga tiga minggu belakangan ini. Di luar itu sy khawatir kalau --sy-- tidak mampu memberikan perhatian yang sama ketika teman-teman tengah berada di kondisi yang saya alami.

Beberapa minggu lalu, badan sy meriang. Sehabis pulang dari sebuah seminar, di malam harinya sy merasa kepanasan. Sy hampir tidak bisa tidur karena panasnya. Dan sy hanya menganggap itu demam semata. Maka sy telan dua butir obat pereda. Keesokan harinya badan sy masih panas, tapi sy memaksakan. Sy harus melawan dan sore harinya panas sudah berkurang. Lalu sy menjemput teman, pergi ke Voice of Islam.

Waku itu kami pulang sekitar jam setengah sepuluhan. Dan sesampainya di rumah saya juntai. Keesokan harinya ketika membuka baju sy merasa aneh. Tubuh sy penuh bercak. Dari mulai dada, pergelangan tangan, pangkal paha sampai telapak kaki.
“A kena campak,” jelas Ira.

Ternyata bukan, dokter memvonis demam berdarah. Seru! Dan sepulangnya dari rumah sakit dokter memvonis sy terkena liver. Ini makin seru!

“Kamu perbaiki dulu pola konsumsinya,” ujar dokter yang namanya Djunaedi.
“Oke dok, apa yang nggak boleh dimakan untuk sementara?”
“Jauhi gorengan, kopi, yang pedas-pedas, dan terlalu asam.”

Lantas sy makan apa? Disekeliling sy semua di goreng. Dalam hati ya dikit mah nggak apa-apa kali (tapi itu di dalam hati)

Sy berbenah. Pola konsumsi sy perbaiki. Alhamdulillah, di hari seninnya sy sudah bisa kerja (yang tentunya dengan syarat bahwa dalam minggu ini sy harus dikasihani. Referensi dokter yang jadi wasiatnya). Di minggu ini, kerjaan sy sepenuhnya harus di meja, nggak boleh ekstrem hilir mudik ke setiap departemen seperti yang biasa sy lakukan.

Oke dan pada hari Jumatnya. Tepat hari ini, sebuah peristiwa terkait atasan sy itu terjadi lagi.

***

Hanya ada sedikit orang yang hadir waktu itu. Sy pun memesan segelas teh untuk trainer dan beberapa gelas kopi. Siang itu, diskusi berjalan baik. Dan ketika diskusi sedang seru-serunya atasan sy datang. Bukannya duduk, dia malah melihat ke meja dan bertanya mengenai cangkir yang paling dengan tubuh sy.

“Ini kopi siapa?”
Langsung sy jawab. “Kopi sy Bu.”

Mimik wajahnya tiba-tiba berubah. Atasan sy cemberut.
“Bandel nih anak!”

Sy ketawa. Dan rupanya tidak sampai di situ. Selesai diskusi ia masuk ke pantry dan mewanti-wanti.

“Ki Jaka kalau Divan minta kopi, jangan di kasih!”

Sy bengong. Walah! Di diboikot! Sy ngikik dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

***
Sampai di rumah, --mendengar boikot itu-- Ira langsung menyeprot. Maka sy kabarkan semprotan itu pada wanita yang saya yakin kalian tahu siapa (menggunakan sms).

Isinya:
Td cerita ke Ira, ditegur ma bu Tya gara-gara minum kopi dan diboikot langsung atas kerjasama bu Tya dengan ki Jaka. Dan dengan simple nya Ira bilang: “Bagus sukurin!” Ira malah seneng. Yah sebaijknya sy memang absent u ngopi seenggaknya 2 bulan ke depan atau sampai sy sembuh livernya :D. Honestly… thanks.

Dia menjawab:

U re welcome. Cause ure my bro!
And we luv u Divan (nama asli sy palsukan).

Lantas sy balikan:

Its mean a lot. Hope I can do the same thing in a difference moment.
I pray for your health and pray prosperity for your family and our gang.
Happy shalat Mahgrib Mam.

Ok, Son, katanya. (Kami memang suka sok-sokan English nggak jelas)

Dan sy tiba-tiba teringat akan sahabat-sahabat sy terutama Ali.
… mungkin sy telah menemukan sahabat baru.
Sy tak tahu.

Mudah-mudahan kalian juga menemukan hal yang sama di sana.
Love u all, God rascal!

0 komentar:

be responsible with your comment