“Apa kamu masih mengkaji.” Mengkaji bisa diartikan berada dalam organisasi yang ia ikuti atau masih menyetujui ide-idenya. Inilah pertanyaan yang paling kutakuti. Setidaknya ketika aku berhadapan dengan sahabat-sahabatku, jika orang lain aku tak begitu peduli, aku tak menanggungkan beban untuk keras dalam menjaga sebuah ikatan.
Aku menghela nafas saat ia mengajukan pertanyaan itu. Mau tak mau harus ku sampaikan keluh kesahku, bahwa bukan satu atau dua kali aku bersua dengan pertanyaan yang ia tanyakan. Terakhir aku ditanya hal yang sama, hubunganku dengan seorang teman menjadi renggang selama setahun meski beberapa bulan yang lalu hubungan kami mulai berlangsung cair kembali.
Jika dikatakan bahwa aku trauma, kau bisa saja mengatakan aku terlampau manja. Maka yang harus kukatakan saat itu hanyalah, “Aku sedang tak bisa berbagi.”`Mengapa, tanyanya. Karena, kebanyakan orang bukan bertanya untuk mengetahui, tapi menginterogasi.
“Aku bukan residivis, aku bukan penjahat yang harus dipertaubatkan, dan jika saatnya tepat aku akan membicarakan hal itu padamu.”
Ia mengangguk. Senyumnya seolah merupakan cerminan bahwa ia belajar dari setiap setapak yang ia jejak. “Asal Divan masih berada di lingkungan yang islami,” ucapnya, “dan masih memiliki keinginan dan upaya untuk menyebarluaskan islam, maka apapun pilihannya tidak menjadi masalah.”
Sejenak, aku merasa sejuk oleh perkataan. Sayangnya itu hanya sementara sebab ia menambahkan ungkapan yang bagiku klise (meski kutahu, kadang klise itu bukanlah hal yang buruk)
“Sy hanya ingin tahu,” desaknya. “Ketika kamu memiliki pikiran yang baru, maka kita bisa tukar pikiran. Hingga saat ini saya masih menganggap apa yang sy yakini, organisasi tempat sy berkiprah adalah organisasi yang paling argumentative dalam melakukan perubahan sosial…” kelanjutan dari perkataan itu silahkan kamu merabanya.
Aku tak mengatakan apa-apa. Aku hanya khawatir senyumnku menyiratkan senyum yang sinis. Saat itu aku mati-matian berusaha meredam pantik kesombongan kala berpikir “I have once like you are now.”
Aku pernah mengalami hal yang kau alami, perkataan yang kau katakan.
Aku pernah!
* * *
Di luar pengalaman berada di tempat yang sama dengan apa yang temanku alami itu, aku pernah mengatakan pada beberapa orang bahwa apa yang kuyakini sukar kusampaikan secara metodologis. Tapi entahlah, aku meyakininya, aku melihat gambaran jelas terhadap yang kuyakini meski tidak atau belum bisa menggambarkannya secara jernih.
Kali ini, hanya untukmu, aku akan memberi sedikit gambaran pemahamanku yang terakhir. Dan intinya adalah: aku menganggap bahwa tidak ada satu gerakan pun yang bisa strick terhadap statementnya. Ungkapan ini pernah pula diungkap oleh Next Revolt dengan ungkapan yang berbeda, bahwa kita sering menemukan sebuah gerakan yang tidak mentoleransi apabila suatu hal ‘negatif’ dilakukan oleh gerakan lain, tetapi pada sisi lainnya gerakan tersebut mentoleransi perkara apa yang harusnya dilakukan tetapi tidak mereka lakukan.
Sebelum aku berlanjut aku sampaikan dulu bahwa Apa yang tidak dan dilakukan bukan kaitannya dengan akidah atau kemaksiatan mutlak yang benar2 bisa dipastikan seperti halnya saat si Muhaimin Iskandar menarik massa dengan menggugah kelamin para lelaki menggunakan pantat chaotic penyanyi organ tunggal dalam sebuah kampanye di Jawa Timur, atau yang kaitannya dengan sumpah setia terhadap thagut demokrasi nasionalisme liberalisme, atau dan atau lainnya.
Sampai disini aku yakin kau mengerti sehingga aku akan melanjutkan perkataanku bahwa:
Semua gerakan social yang bercorak keislaman tidak ada yang bisa strick terhadap statementnya, tidak ada yang bisa strick terhadap apa yang dilakukan rasulullah. Ini real. Ini sebuah gambaran yang nyata.
Hari ini hatiku condong pada gerakan mujahidin. Aku bersimpati atas Al Qaida, pada perjuangan berdarah negara syariat Chechnya, atau daulah islam di Iraq, tetapi simpatiku tetap tak menghalangi kekesalanku ketika pengikut mujahidin seolah mengatakan bahwa mereka adalah yang paling heroic, hingga kadangkala melecehkan demonstrasi puluhan ribu masa, kemudian mengatakan bahwa metoda merekalah yang paling realistis dan sesuai dengan sunnah rasulullah.
Pikiranku benar-benar menginterupsi itu.
Jika mau mengikuti rasul apa yang dilakukannya (di luar sahabat melakukannya), maka cara pergerakan bukanlah begitu. Gerakan dakwah tidak diperkenankan untuk angkat senjata, rasulullah pernah mengatakan: “Sabar-sabar,” ketika ada seorang sahabat yang disiksa (namun aksi secara individu tetap diperbolehkan). Sehingga dari hal itu –setidaknya sebuah gerakan—mengatakan bahwa perkara jihad adalah perkara perjuangan individu bukan kelompok. Dan dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa yang dilakukan mujahidin tidak strik dalam meneladani pola gerakan rasulullah. Karena yang berjuang itu diorganisir. Dan jawaban retoris, “jika mempertahankan diri (hanya sendiri) saja sukar apalagi melawan kejahatan yang terorganisir, dan memenangkannya?” tetap tidak masuk hitungan karena lagi-lagi kalau mau strick rasulullah tidak pernah melakukan perlawanan fisik terogansir sebelum munculnya sebuah Negara.
Dan disinilah sorak soray terjadi. Gerakan-gerakan non violence sebelum berdirinya Khilafah kemudian mengatakan bahwa gerakan kami yang paling real mengikuti tauladan manhaj kenabian; bahwa kamilah yang paling argumentative, relevan, dan logis dalam menggulirkan perubahan.
Kamu pun pasti sudah berkali-kali mendengarkan statement seperti itu atau malah mengungkap hal seperti itu.
Apakah gerakan rasulullah yang selama 13 tahun sebelum menuju negara madinah itu mengajarkan politik dan ekonomi dengan porsi yang bahkan hampir bisa dipastikan diuraikan di setiap pengajaran.
Jika individu di dalam gerakan rasulullah diperintahkan untuk berjamaah. Apa di dalam pergerakan yang kau ikuti anggota-anggotanya sudah berjamaah, dan mendapat sangksi kala tidak berjamaah?
Apa dalam gerakanmu menghafal quran, memahami sebab turunnya ayat sudah menjadi rutinitas? Apa rasulullah mengkaji kitab kitab yang dikarang oleh para mujtahid? Memusingkan diri membahas tentang ideology atau definisi berfikir dan filsafat meski untuk membantahnya?
Tidak. Rasulullah mendapat wahyu langsung dari Allah. Maka setiap gerakan jika ingin strick seharusnya hanya memiliki alquran dan hadist saja untuk dijinjing-jingjing dan disombong-sombongkan, bukan kitab-kitab karangan pendiri gerakan tertentu saja.
Jawaban ini sebenarnya ada di pengalamanku dan kamu.
Saat ini aku benar-benar meyakini bahwa setiap gerakan memiliki aneka macam cara untuk menjebak individu dari gerakan lain untuk menyetujui pikiran yang dikembangannya. Entah gerakan violence/non violence.
Saat ini aku menyakini bahwa (di luar gerakan si goblok Muhaimin, atau gerakan yang mengimani demokrasi dan juga agama kebangsaan) setiap individu berhak memilih organisasi untuk menerapkan dan mengembangkan pemahaman islamnya.
Antara Mujahidin dan partai yang akidahnya masih berada lurus di relnya, sebenarnya tidaklah ada yang perlu dipertentangkan. Inilah mengapa, aku akan mengatakan:
“Setelah mengkomparasi antar gerakan menggunakan pikiran, pilihlah alat perjuangan menggunakan hatimu.”
Itulah jawaban mengapa aku condong pada gerakan islam yang hendak melakukan tindak kekerasan tanpa batas… kecuali dengan batasan hukum syara.
aslkm. bikin geromboln baru? wajarlah karena yg sebelumnya harus menentukan sikap. seperti petuah universal yg dilantakkan si kancut SBY 'kita harus menentukan pilihan'. karena dimeja forum ummat tidak sedang dihidangkan anjing dan katjiks. kemudian kalopun gelar pecundang harus disematkan. jgn marah karena kata itu harus direnungi juga, seperti keteguhan divn semesta akan dibuktikan juga cepat eto lambat.. hasta siampre victoria?
ttd.
kawanmu urang pakanbaru