Aku Berhak Melakukan Ijtihad

Posted: Kamis, 05 Februari 2009 by Divan Semesta in
1

Seringkali aku berdiskusi mengenai status hukum mengenai –kebanyakannya-- permasalahan kontroversial dan kontemporer,
dan seringkali pula aku diberi petuah.
“Van, untuk memutuskan hukum tertentu kita harus memahami ushul fikih,
kita musti ahli dalam bahasa Arab, memahami hadist dan lain sebagainya.”

Apa yang ku sampaikan nampak salah dalam pandangan temanku.
Karena, aku tidak memiliki kapasitas dalam memandang dan memutuskan sebuah perkara.

Aku memahami planet pikiran temanku itu,
karena aku pernah mendiami planet yang sama.

Aku bukan tidak tahu bagaimana Rasulullah memposisikan seseorang
yang sembarangan menafsirkan sebuah ayat atau cuplikan hadist
untuk melihat dan memutuskan permasalahan.

Tempat itu mengerikan dan aku tentu tidak mau berada di dalamnya.

“Kalau tidak mau jangan seperti itu," tuntut temanku yang beberapa bulan ini terkena influence Mario Teguh.

“Apa yang seperti itu?” tanyaku.

Aku tidak pernah sembarangan menilai sesuatu.
Aku faham mengenai kapasitas pikiranku.
Jujur ku akui jika aku bukan ahli fikih.

Untuk bahasa Arab yang kutahu cuma kisaran bahlul atau gila,
kolbun anjing,
kirdun monyet dan banyak kata kata kasar lainnya
yang diajarkan orang-orang sewaktu aku --dulu-- pernah pesantren kilat.

Aku tahu dengan keterbatasanku,
aku memahami kemalasanku untuk mempelajari bahasa yang kompleks itu
.... dan setahuku --keingintahuanku dari dulu hingga sekarang--
hanyalah mempelajari kalimat aneh dalam bahasa arab yang tertuang dalam hadist
yang akan kucontohkan di bawah ini.

Afdholul dahri
Wasafatul bakri
Wajaat quluubukum Wabakrul Fataya.

Aha!
Seseorang yang ahli bahasa Arab dan hadist
tentu akan serta merta mengatakan hadist yang kunukil: bukan saja maudu atau dhoif.
Akan tetapi hadis dengan posisi laknat.

Tentunya aku yang sedikit aneh ini akan mengakui:
bahwa yang kukutap kutip itu merupakan ajaran ‘sesat’ yang diulik teman pamanku

Arti kalimatnya hanya dimengerti orang-orang yang memahami bahasa sunda.
Beginilah kira maknanya:

Afdholul dahri : pang afdol-afdolna dahar
Wasafatul bakri : dengan sepat (lauk) beleum
Wajaat quluubukum : dengan qulub ja’at.
Wabakrul fataya : --dan jangan lupa—ditambihan ku beleum peteuy.

Dan tak lupa di tambahkan amin. Tentu saja.

Haha. Hanya kalimat arab seperti itu yang mati-matian ku hafal.
Hanya hal-hal begitulah yang saat ini ingin kuketahui tentang bahasa Arab.
Itupun arab-araban. Arab bahlul.

Jujur
aku mengakui kelemahanku.

Jujur pula kuakui kekuranganku mengenai hafalan hadist,
pula mengenai detail-detail mengenai ilmu ushul fikih.

Lantas apa yang kumiliki?

Aku hanya memiliki logika berpikir.

Memang,
aku tidak menggunakan logika sepenuhnya untuk menentukan sesuatu.
Aku hanya memanfaatkan logika ahli fikih, logika ahli agama.
Maksudku, memanfaatkan logika berpikir mereka yang salah:
Entah dalam melogikakan, mengkorelasikan teks-teks wahyu dengan realitas kontemporer

Apakah itu salah?
Maka kutanya:
dimana ayat dan hadist yang menyalahkannya?

Mengapa hanya ‘mujtahid saja’ yang berhak untuk salah?

Logika berpikir yang sering kita dengar:
“Kalau mujtahid benar,” dapet pahala dua.
Sebaliknya kalau salah, hanya dapat satu.

Lantas mengapa aku tidak berhak untuk ‘salah’?
(Aku tidak mengatakan bawa aku berhak untuk benar
karena bagi kebanyakan temanku yang kulakukan adalah salah).
Membuat ijtihad adalah salah karena aku bukan ahli penghafal Quran
dan bukan ahli hadist.

Hm...
Tanpa menghilangkan rasa hormatku pada para penghafal Quran dan Hadist,
akan kukatakan sudah 1400 tahun al Quran diterjemahkan
ditafsirkan,
demikian pula dengan hadist.

Lantas apa yang menghalangiku untuk melakukan ijtihad?

Ya, ya ya, mungkin ... kau takut jika aku terjebak seperti 'ijtihad’ orang aneh yang mengatakan bahwa:
“Naik haji tidak usah ke Mekah bagi yang miskin.
Untuk menjaga keadilan sebaiknya naik haji bagi yang tidak mampu ke Goa Selarong saja.”

Maka akan kukatakan itu bukan ijtihad.
Itu permainan otak yang tidak dilandasi yang tidak disemeni oleh hukum syara.

Naik haji bukanlah sesuatu yang baru yang perlu diijtihadi.
Jadi tidak ada ijtihad untuk naik haji
Sebab di zaman Rasul orang miskin sudah ada, tetapi --tetap saja-- perintah naik haji ke tempat yang bisa dijangkau (orang tak berpunya) tidak pernah di perkenankan.
Karena, naik haji ya ke ke Al Mukarromah, Makah.

Orang tak berpunya tak diwajibkan/dibebankan naik haji.
Jadi kalau mau ke Gua Selarong ya ke sana saja, untuk taqorrub rihlah, untuk melukis, mencari inspirasi puisi...

Dalam era Obama dijadikan sebagai Imam Mahdi
maka yang bisa diijtihadi
adalah sesuatu yang faktanya belum terjadi di zaman rasul dan butuh penghukuman: seperti pembajakan buku sah atau tidak,
hukum bayi tabung,
bagaimana dan bagaimana lainnya.

Tetapi memang manusia, --termasuk aku-- harus menggunakan teks Quran dan Hadist dan logika korelasi untuk menghukuminya.

Kembali ke kendala bolehnya aku melakukan ijtihad,
ya ... kukatakan boleh saja.

Kenapa tidak?

"Kalau salah bagaimana?"

Kutarik saja statemenku ini jika ada hadist atau teks Quran
(yang tidak kuketahui) hingga membuat ijtihadku salah.

Simple kan…?

Kalau para imam bisa menarik statementnya
ketika berhadapan dengan otoritas Quran dan hadist,
mengapa aku tidak?

1 komentar:

  1. thats imposible.... maybe.... >_<
    bayangkan bagaimana jika semua org muslim awam sperti qita di dunia melakukan ijtihad tanpa mngetahui hadis yang syara'??
    apakah tidak akan trjadi problem yang berat ketika smua org saling mempertahankan hukum yang mereka buat masing2??
    bukankah itu yang mnjadi alasan para Ulama' membentuk para Mujtahid??

    thanks...
    mhon pnjelasannya....

be responsible with your comment