Everlasting Smile

Posted: Minggu, 05 Oktober 2008 by Divan Semesta in
0

SENYUM
(Monday motivation 22/09/09)

Di basement sebuah mall kota Bogor, saya pernah khilaf meninggalkan sebuah helm yang harganya mahal sekali. Tak heran sepulangnya berbelanja helm itu pun raib dari tangkai setang motor saya. Jika helm itu milik sendiri, tidak mengapa. Tetapi, yang menjadi masalah adalah: helm tersebut pinjaman. Apa yang harus saya lakukan? Saya lantas mencari security room untuk membuat pengaduan. Sampai di security room saya langsung di hadang seorang satpam berpakaian rapih dan bertubuh tegap. Sebelum saya bertanya satpam tersebut lebih dulu melayangkan pertanyaan.

“Ada apa Pak?” dengan suara yang lembut tapi tidak merendahkan wibawa. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya lagi terkesan gentle.
Magic word pertama (apa yang bisa saya bantu) yang ia lontarkan membantu meredakan kisruh di hati saya. Maka dengan suara yang sama tenangnya saya pun menjawab, “helm saya hilang.”

Sang satpam tersenyum. Senyumnya terkesan ikhlas, mungkin malah melebihi senyum anak-anak muda hasil pelatihan institusi kepribadian macam John Robert Power. “Ini helm bapak?” ujarnya.

Saya terperangah. Dan makin terperangah, ketika dia melanjutkan perkataannya dengan sopan.

“Saya khawatir helm bapak di curi orang jadi saya sengaja mengamankannya. Saya memang salah, tidak memberitahukan bapak. Jadi, mudah-mudah Bapak bisa memaafkan saya.”

Saya terperangah. Hanya kata terima kasih yang saya utarakan saat itu. Saya menyesal tidak mengucapkan pujian untuknya. Saya menyesal, bahkan hingga saat ini, sebab saya tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Sejak saat itu satpam tersebut hilang. Saya hanya berharap senyum dan sikap elegan sang satpam membawa dirinya ke jenjang karir yang lebih menjanjikan.

Senyum…

Dalam dunia yang serba disekularisasikan saat ini, senyum memang menjadi alat yang bisa mengkatrol penjualan sebuah barang atau meningkatkan omset perusahaan terutama yang bergerak dalam bidang pelayangan dan jasa.

Sedemikian pentingnya senyum dan sikap elegan dalam pelayanan berbagai perusahaan bahkan bersedia menggelontoran uang puluhan juta hanya dalam empat atau bahkan dua jam pelatihan. Senyum memang sesuatu yang di butuhkan. Senyum akan mendatangkan konsumen, yang berarti pula akan mendatangkan keuntungan.

Pekerja yang selalu tersenyum merupakan intangible asset sebuah perusahaan. Tetapi, apakah senyum yang diberikan pada konsumen memang merupakan senyum yang tumbuh dari dasar hati seorang pekerja? Masalahnya di sana.

Dalam dunia yang disekularisasikan saat ini, pelatihan-pelatihan senyum dalam perangkat grooming, greeting dan courtesy training, lebih diutamakan untuk mendekatkan calon konsumen dengan produk sebuah perusahaan.

Senyum menjadi sebuah teknik instan dalam menjaring uang. Perusahaan tak peduli. Yang penting senyum yang terpampang di setiap pekerjanya sesuai dengan Internasional Standar Organization yang merupakan jaminan dalam mendatangkan profit. Senyum kemudian dikapitalisasikan!

Hm, jika sebuah perusahaan berpemikiran bahwa senyum dapat menaikan omzet, maka tidak apa-apa, itu urusan mereka. Seharusnya pekerja di sebuah perusahaan memahami bahwa senyum bukanlah semata urusan nyaman di pandang atau bahkan melejitkan pendapatan sebab jika seperti itu maka senyum yang kita pasang hanyalah bernilai material belaka.

Dalam philosophi pemikiran Islam sesuatu yang artificial (palsu) hanya akan sampai pada derajat keduniawian. Berbanding terbalik dengannya, senyum yang ikhlas bukan saja akan menuai panen kebaikan di dunia akan tetapi merupakan salah satu perangkat untuk menaikan derajat manusia di sisi Tuhan. Mengapa bisa seperti itu? Karena senyum merupakan pelayanan manusia untuk sesamanya. Karena senyum merupakan sarana penyucian. Karena senyum merupakan derma. Karena senyum adalah –juga-- upaya manusia untuk saling berbagi energi ketuhanan.

Ingatkah kita akan kisah seorang yang saleh dalam pandangan dirinya, tetapi teryata kesalihan tersebut tidak menyelamatkan dirinya, dan –ternyata-- yang menyelamatkan diri dia adalah air mata (yang tidak sampai segelas) yang justru menjadi pembuka pintu pintu rahmat Tuhan.

Maka, mudah-mudahan senyum yang ikhlas dengan mata yang ramahlah yang akan menjadi pembuka pintu ampunan Tuhan saat kita tengah tergeletak menunggu untuk bertemu dengan-Nya. Mudah-mudahan senyum yang ikhlas akan menjadi jalan bagi kita menuju ampunan-Nya.

0 komentar:

be responsible with your comment