Musashi dan Peta

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
1

Saat Anda menjual --atau meminjamkan-- buku kepada seseorang,
Anda tidak menjual –atau meminjamkan—kepadanya 12 ons kertas, tinta, dan lem
-- Anda menawarkan suatu kehidupan yang sama sekali baru.
(Christopher Morley)


Haik! Novelnya tebal! hingga bisa dicungkil sedalam mungkin agar --teroris seperti saya--, dapat menempatkan pistol yang akan digunakan untuk menembak kepala George W Bush yang batu! Memungkinkan pula –novelnya-- digunakan untuk melempar orang fasis atau anjing pitbull sampai mati. Musashi! sebuah magnum opus karya Eiji Yoshikawa yang mendapatkan tempat di hati pecinta buku beberapa dekade silam. Sebuah “kitab suci” psikologi yang memberikan pencerahan kepada tokoh-tokoh spiritual seperti Gede Prama dan Sindunatha.

Dahulu novel Musashi terdiri dari jiid-jilid kecil tetapi --ketika saya mengaksesnya di tahun 2002--, ketebalan novel itu sungguh menakutkan bagi siapapun yang sedikit anti membaca. Bagi saya, menamatkan novel Musashi merupakan suatu pencapaian ambisius prestisius. Membaca Musashi seperti halnya memasuki pusaran waktu. Seperti masuk ke dalam sebuah noktah hitam di penghujung umur alam semesta.

Maka, setelah menyengajakan diri terserap kedalamnya, saya keluar menuju kehidupan nyata. Tiba-tiba! –dalam beberapa hari, kehidupan ini menjadi begitu menakjubkan. Saya merasakan betapa kuatnya pengaruh novel yang saya selesaikan selama 7 hari itu. Ketika berjalan-jalan menuju sebuah air terjun tertinggi di Bogor, saya menghayalkan keindahan alam berupa makro kosmos (alam semesta) dan keindahan mikro kosmos (petani yang bercocok tanam, rumah-rumah beratap rumbia dan tegalan yang masih basah oleh hujan) seolah-olah memiliki ruang waktu yang sama ketika Tokugawa berkuasa. Padahal ini indonesia! Padahal ini abad sekarang.
Mungkin kalian merasakan bahwa pernyataan saya terlalu diluap-luapkan. Tetapi, saya tidak melakukan bombastisme. Tanyakanlah pada orang yang pernah membaca Musashi, bagaimana tanggapan mereka, bagaimana perasaan mereka, bagaimana buku itu mendidik mereka?
Tanyakanlah! dan kalian akan mendapatkan jawaban yang sama meski secara tekstual berbeda. Percayalah, bahwa saya tidak ikut multi level marketing (MLM) penerbitan yang menerbitkan Musashi. Saya hanya ingin berbagi rasa dengan kalian. Aha!

Di remang senja yang memukau, seorang pemuda masuk di kehidupan saya. Dalam pertemuan itu, kami bercerita cas-cis-cus tentang segala hal --termasuk tentang dirinya dan tentang kecintaan saya terhadap dunia buku. Dan manakala dalam perbincangan itu ia berkata “Ini realita man! bukan dunia khayal! Untuk apa membaca buku? toh kita bisa mendapatkannya di kehidupan nyata!” maka terkutuklah ia!

Ting! Hening. Sunyi. Suara gelegar petir dahului cahaya --karena seumur hidup, supersonik tidak akan pernah dikalahkan oleh cahaya. Dan merahnya cahaya muka, mendahului luap kemarahan yang akan saya ungkapkan lewat suara --setelah ia menyepelekan saya.
Kalian tak perlu mengetahui bagaimana saya marah bilamana berhadapan dengan orang yang sombong itu (sebab marah saya menakutkan!). Saya hanya akan menjelaskan bagaimana fungsi sebuah buku dalam kehidupan, agar kita tidak menyepelekan buah pemikiran orang lain --seperti halnya yang dilakukan teman saya itu.

Sewaktu cilik, manakala hidung masih meler-meler ingusan (saya tidak!)— ibu kalian pasti pernah bercerita tentang sosok buaya. Begitu halnya dengan orangtua zaman dulu saat memberikan pengajaran mengenai unsur alam kepada anaknya --menggunakan bahasa. Salah satunya, mereka berusaha membahasakan bentuk buaya (yang si Rob suka!). Bahwa buaya bentuknya memanjang, mulutnya lebar, giginya lebih tajam dari kapak batu yang dipakai menguliti armadilo; bahwa buaya berbuntut dan bersisik tebal. Mereka berusaha merekonstruksi bagaimana sifat-sifat buaya yang jahat, yang suka berguling-guling, yang suka menyelam dan diam di sungai seperti patung.

Apa yang terjadi ketika “anak purba” bertemu sosok mahluk yang pernah di ceritakan orangtuanya? Meski baru pertama kali bertemu, --seandainya ingat akan nasihat orangtua--, tentu “anak purba” itu akan lari pontang-panting mencari tempat perlindungan yang aman. Dan selamatlah satu orang anak manusia dari survival of the fittes (perjuangan mempertahankan hidup) melawan buaya.

Sun Tsu. Seorang ahli filsafat perang masyhur! Ia dilahirkan di negeri Cina yang memiliki kondisi geografis beragam. Dalam zaman peperangan yang berlangsung di negerinya, Sun Tsu membuat sebuah petunjuk praktis ketika melakukan peperangan di gurun, padang savana, tundra, dataran bersalju, gunung kapur, sungai dan danau. Ia memetakan kondisi geografis, memaparkan kelemahan dan kelebihan dataran tersebut. Pengamatan dan pencatatannya terhadap kondisi serta potensi alam --untuk memenangkan perang--, mengangkatnya menjadi seorang mahaguru filsafat perang sepanjang masa.

Filsafat perang Sun Tsu menjadi penting ketika seorang panglima sebuah pasukan tempur mengalami kehilangan arah saat berada di sebuah belantara pegunungan yang belum dikenalnya. Dalam situasi seperti ini --musuh yang telah lebih dahulu menguasai daerah tersebut--, akan mudah memukul mundur pasukan tempur sang panglima. Tetapi kejadiannya akan berbeda manakala sang panglima terlebih dulu mempelajari peta belantara pegunungan serta bagaimana cara menghadapi pasukan musuh seperti yang diajarkan Sun Tzu. Peta! Ini kuncinya.

Selaku mahluk, manusia memiliki keterbatasan indera. Ia tidak bisa menjangkau seluruh fenomena dalam satu jangka waktu yang sama. Manusia membutuhkan deskripsi fenomena melalui bahasa yang disampaikan manusia lain --yang pernah mengalaminya. Hal itu dilakukan agar --nantinya-- ketika manusia menemukan kecocokan sebuah fenomena yang baru ditemuinya --dengan apa yang pernah disampaikan manusia lainnya melalui bahasa-- maka ia akan mudah menentukan sikap.

Begitu halnya dengan buku. Buku adalah petunjuk oral yang dipenjarakan dalam setumpuk kertas. Buku adalah pemetaan sebuah fenomena. Bahasa yang ada di dalam buku, merangkaikan kata menjadi gugusan kalimat, yang pada klimaksnya memuncakkan sebuah makna mengenai kehidupan. Makna (baca : hikmah) yang inheren didalamnya, merupakan peta penjabaran realita yang sudah --ataupun akan-- kita hadapi di kehidupan sehari-hari.

Dalam novel Musashi saya mendapatkan pemetaan kondisi manusia yang dituliskan Eiji Yoshikawa mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan fikirannya maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang merdeka! Waktu dulu saya berusaha merenungi makna yang terkandung di dalam novel Musashi itu. Saya memikirkan itu selama setahun. Waktu bergulir. Saya dihantam berbagai macam sinisme dalam bentuk ucapan. Karakter saya dibunuh hanya karena saya --yang katanya aktivis-- tak menggunakan kemeja dan celana bahan. Kata mereka, “Dandanan lu kayak anak metal, mirip anak underground, serupa dengan dandanan anak buahnya Che Guevara. Munafik loe!”. Di hantam dari kanan kiri, depan belakang, atas bawah, mengakibatkan saya goyah dan tertarik untuk memakai kemeja, juga celana bahan selama beberapa saat.

Perenungan mulai berjalan. Saya kembali mengingat pemetaan kondisi manusia yang terkandung dalam novel Musashi mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan fikirannya maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang merdeka! Karena makna yang terkandung dalam novel itulah saya mulai mempertanyakan: apakah saya sudah merdeka jika saya masih bisa dipengaruhi oleh anggapan orang lain --mengenai cara berpakaian saya, yang sebenarnya tidak keluar dari konteks hukum syara (menutup aurat)?

Ternyata saya belum merdeka! Ternyata antara hati --berupa keinginan untuk berpakaian apa adanya--, dengan pemikiran --bahwa pakaian yang dipakai, bisa model apa saja, asal menutup aurat-- tidak terjadi keselarasan. Saya akhirnya menjadi budak anggapan orang. Mau tidak mau, sejak saat itu saya mulai belajar memerdekakan diri! Dengan satu keyakinan, bahwa sejahat apapun anggapan orang, toh! anggapan itu tak akan membuat saya mati terjongkang-jongkang.
Bagaimana jadinya jika saya tak pernah membaca Musashi? Jika saya tak sempat mengkaji pemetaan kondisi manusia? Saya beranggapan bahwa belum tentu, saya dapat keluar dari prasangka, yang akhirnya menghantarkan saya menuju krisis pesonality . Jika saya tak pernah mengkaji pemetaan itu, mungkin perkembangan kemerdekaan diri saya menjadi terlambat. Lantas apakah dengan membaca Musashi, saya sudah merdeka sepenuhnya? Kamu fikir ya!?
Dalam membebaskan diri dari anggapan orang lain --mengenai cara berpakaian-- maka saya telah merdeka. Tetapi di sisi lain ternyata tidak! Kalau kamu cermati --dalam kasus-- ketika saya menyesalkan sikap teman dalam menyepelekan keberartian sebuah buku maka --seandainya jeli--, kalian akan merasakan percampuran antara egosentrisme dan harga diri di sana.

Ketika teman saya menyepelekan buku, secara tidak langsung --saya merasa-- disepelekan. Dalam kasus itu, saya berfikir bahwa saya belum merdeka dari omongan. Saya merasa terganggu! Saya merasa direndahkan! Saya merasa ego dan harga diri saya diusik! Dan saat ini saya merasakan, betapa lemahnya emosi saya waktu itu. Tetapi itulah proses kehidupan. Itulah proses kesadaran mengenai ketidak-berartian dan kelemahan manusia, di tengah konstelasi unsur alam semesta. Karena kehidupan adalah proses pembelajaran mencapai kesempurnaan. Karena kehidupan adalah proses perjalanan menuju sumber keagungan dan kebijaksanaan.

1 komentar:

  1. Anonim says:

    musashi: tentang orang jepang, dari kacamata orang jepang

    shogun : tentang orang jepang, dari kacamata bule

    1991... 2009... OMG, sudah 18 tahun berlalu sejak aku baca 2 novel itu...

be responsible with your comment