Anak ini, si Ati ini merupakan Adik dari suami Ati. Ya, Ati yang dulu sempat ikut membantu pekerjaan rumah Ibu saya. Ati yang lebih tua, berhenti, karena dia dilamar sama kakak-nya Ati kecil. Walhasil, direkomendasikanlah Ati kecil ini untuk Ibu saya.
Ati Kecil anaknya pendiam tapi suka membaca. Dia kadang membongkar lemari buku saya. Kadang ia diam-diam tertawa sendiri ketika membaca komik Sinchan. Kadang baca juga buku-buku macam Chicklit yang nggak jelas juntrungannya itu.
Minggu pertama kami sekeluarga, menilai diamnya Ati kecil itu hanya sebagai karakter. Tapi setelah sebulan-dua bulan berlalu, perutnya melendung… oh… tidak. Saya salah mengetik. Tidak ada itu melendung-melendung. Tidak berhak itu orang mencurigai saya, yang termahsyur khatam Iqro.
Ya, setelah sebulan dua bulan berlalu, ternyata pendiamnya itu memang aneh.
Saya sempat bilang ke Ira. “De jangan biarin anak-anak diasuh sendirian sama Ati. Takut ada apa-apa.”
Kata Ira, dia tidak pernah meninggalkan anak-anak, kecuali ada Neneknya, ada Abahnya, atau ada Kakak, ketika keluarganya maen ke rumah.
Setelah beberapa bulan kemudian, ada lagi yang bertanya. “Bu, naha betah si Ati di bumina Ibu?” (Kenapa Ati betah di rumahnya Ibu)
Dan Ibu saya pun membalikan. “Naha kitu?” (kenapa gitu?)
“Da jarang ada yang betah atuh. Soalnya suka ketawa sendiri. Rada-rada eta mah Bu.”
“Oh gitu?”
“Iya, tapi da bageur Bu.” Tapi baik
Nah. Yang bilang kalau Ati itu rada-rada, bukan bukan siapa-siapa melainkan kakanya Ati. Alias yang dulu kawin sama Ati. Bingung? Makanya Ati Ati kalau baca ini tulisan. Konsen.
Akhirnya, saya makin sering memperhatikan si Ati. Dan makin sering menggali informasi tentang dia.
“Si Ati mah aneh, eta budak.” Anak itu, aneh, kata Ibu saya. “Masa disuruh mijitin, terus aja mijit padahal Mamah udah tidur tapi terus aja dipijit.”
Saya jadi teringat orang Samin. Katanya orang Samin begitu. Ini berarti Ati sebenernya bukan bloon, tapi lugu.
Ada lagi kejadian lain.
“Ti, tolong ambilin daun sirih di belakang rumah,” suruh Ibu saya.
Satu jam berlalu, hampir ke dua jam. Disangkanya si Ati sudah selesai mengambil daun sirih, eh … tidak tahunya, dia masih aja nyabutin daun sirih. Padahal waktu itu hujan.
Maksud Ibu saya, ambil sirihnya sedikit. Ini malah sebaskom. Ngambilnya pelan-pelan-pelan slow motion, seperti menikmati energy alam semesta layaknya praktisi Yoga jeprut. Dan waktu Ibu saya geleng-geleng kepala, si Ati cuma senyum-seyum saja.
Saya, yang kebetulan waktu itu ada disana, ketawa waktu Ibu mengambil jari telunjuknya, lalu disilangkan di jidat. Ira juga ketawa, dan dengan simple-nya dia bilang, “Mamah salah neken tombol sih.”
Maksud salah teken tombol itu, kalau mau minta tolong sesuatu sama si Ati harus detil til til. Jangan ada metafora, jangan ada personifikasi, jangan ada majas reketek jebrot, jangan ada kata kiasan. Harus mantap seratus persen, supaya tidak bisa ditafsirkan lagi, karenanya wajar saja jika salah pencet tombol ini berakibat fatal.
Seperti pada satu kejadian eng ing eng.
Suatu pagi, Ibu saya melihat si Ati keluar dari kamar mandi. Cengar-cengir sambil gosok-gosok kepala. Mesem-mesem nggak ada juntrungannya.
Dia keluar, dan Ibu saya menginspeksi WC.
“Astagfirullah!” teriak Ibu. “Ti…….kenapa itu di closet air pipis nggak disiram? Jorok!”
Dan sambil berjalan santai, tanpa nervous tanpa rasa bersalah dia bilang. “Da udah di siram Bu.”
“Tapi itu kan masih kuning,” Ibu saya membantah. “Disiram yang banyak!”
Maka masuklah Ati yang culun ini ke kamar mandi. Ibu saya meninggalkan dia.
Setengah jam kemudian, Ibu memanggil.
“Ti….Ti?”
“Iya Bu?”
Lha si Ati ternyata masih di kamar mandi, dan… keluarlah astagfirullah dua kali dari mulut ibu, melihat si Ati masih saja menyiram closet. Terus … terus… terus.
Kalau air di ember abis, dia buka keran air. Dia siram lagi. Terus-terus- terus. Dan ini mirip cerita Sisipus.
Ibu saya benar-benar takjub. Luar biasa! Kalau tidak disuruh berenti saya yakin si Ati nggak akan berhenti. Ibu saya geleng-geleng. Mau ngapain lagi, marah nggak bisa.
Hm, karena saking lugunya si Ati yang satu ini, kayaknya kalau kita-kita minta tolong atau menyuruh dia, memang harus jelas takarannya.
Misal dalam perihal buang air:
Kalau habis pipis, siram 3 kali.
Kalau buang air besar siram 10 kali. Sampai tahinya hilang.
Kalau nggak dibilang begitu, meski disiram sepuluh kali dan tahinya belum hilang juga, bisa dipastikan SI Ati pasti langsung keluyuran keluar dari kamar mandi, slonong beybeh.
Dasar Ati…..Ati.
tadi saya mimpi naik pesawat ti Jordania sareng akang hehehe.
BalasHapusnaon artina ya?
memang kudu ati2..
BalasHapusnih yang mimpi jg ati2..hehehe
Anonim: Naon atuh? sigana bade babarengan naek haji. Amin.
BalasHapusHujan:Hati-hati, mimpi ketemu Ati :D