Nasionalisme!
Adalah tempat tinggal yang kita bela
Nasionalisme!
Untuk negara ini adalah pertanyaan
Nasionalisme!
Untuk negara ini menuju kehancuran
Nasionalisme!
Untuk bangsa kami menuju kehancuran
[KOIL, Dunia Dalam Fantasi]
”Hubbul wathaan minal-iimaan.”
Betapa ungkapan itu masih terngiang di kepala ketika berapi-api saya menghafalnya di sebuah kelas tua Madrasah Ibtidaiyah. Ini perkataan Nabi Muhammad saw., kata Ibu guru saya, yang menandakan bahwa kecintaan seseorang terhadap tanah air merupakan salah satu bukti keimanan.
Bergemuruhlah saya, berkobarlah saya.
Subhanallah Ibu guru saya –semoga Allah memperpanjang umur dan melindunginya-, menyampaikan pelajaran PPKN itu dengan tulusnya. Namun belakangan saya menjadi mengerti, bahwa ternyata ungkapan yang disebut-sebut sebagai hadits nabi itu, palsu belaka. Itu artinya, Ibu guru saya –dan tentu pula banyak guru-guru yang lainnya-, secara tidak sadar telah diperalat oleh segerombolan setan golongan manusia untuk menyebar hal yang dusta.
Dan sampai saat ini, siapapun tahu bagaimana kondisi umat Muhammad saw: Maraknya penyiksaan, perampasan, penyesatan, pemberangusan, serta pemerkosaan dan pembunuhan. Semua itu bisa ditemukan keberadaannya di Afghanistan, Cechnya, Iraq, Palestina, Kashmir, Bosnia, Filipina, dan entah di mana lagi di pelosok dunia yang lainnya.
Maka inilah iman! Inilah ”hubbul wathan minal-iman” ketika permasalahan umat Muslim di negara lain adalah urusan bangsa mereka sendiri, yang tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan negara kita. Inilah ”hubbul wathan minal iman”, ketika negara dengan patriotisnya membela kehormatan model bohai Manohara atas perlakuan pangeran Kelantan –yang notabene suaminya-, sementara jauh-jauh hari kehormatan Muslimah yang diperkosa [bergilir-belasan-kali-sehari] di Abu Ghraib hanya dipandang sebelah mata. Inilah ”hubbul wathan minal iman”, ketika berkobar-kobar supporter bola mendukung timnas PSSI yang dipecundangi Malaysia di final Piala Asia, namun di saat yang sama tak pernah terbesit dalam jiwa mereka untuk mendukung para Mujahidin yang didamprat habis-habisan oleh pasukan Amerika, dan...
Inilah ”hubbul wathan minal iman” saudara-saudara, ketika tentara Angkatan Laut membekuk nelayan Malaysia yang nyelonong dan nyolong ikan teri di perairan nusantara, namun di saat yang sama membiarkan tanah kaum muslimin di Palestina dirampok dan dijarah oleh Israel dengan brutalnya.
Iman, saudara. Inilah iman...
Dan sebelum kita dikatakan tidak beriman oleh orang-orang yang mengaku paling beriman dengan nasionalismenya, ada baiknya kita mengerti dulu apa itu nasionalisme.
Nasionalisme, atau yang sering didefinisikan sebagai suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah bangsa. Dari definisi ini, term “bangsa” dalam praktiknya telah memiliki makna luas bahkan terkadang bersifat imajiner. Sebagaimana dalam wacana politik mutakhir, yang menyebutkan bahwa pengertian “bangsa” ternyata lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999). Hal ini disebabkan karena kesamaan “bangsa” kadang bisa bermakna kesamaan ras, sejarah, budaya, bahasa dan sebagainya.
Sebut saja penduduk pesisir timur Sumatera, yang sebetulnya tidak hanya lebih dekat secara fisik dengan penduduk di semenanjung Malaysia sebelah barat, tetapi juga mereka adalah satu suku, sehingga bisa saling memahami adat dan bahasa masing-masing. Namun kemudian mereka “berimajinasi” sebagai dua bangsa yang berbeda, dan menganggap bahwa mereka merupakan bangsa asing satu sama lain.
Nah tetapi gilanya, penduduk Sumatera yang tidak ada sangkut pautnya dengan embah buyut masyarakat Maluku dan Papua, ternyata imajinasi mereka berbicara bahwa mereka adalah satu bangsa. Maka di sinilah letak absurdnya pemahaman nasionalisme, di mana ‘suatu-kesamaan’ bisa menjadi bangsa yang berbeda, sementara ‘ketidak-singkronan’ dapat tergolong menjadi satu bangsa yang sama.
Maka kemudian dapat disimpulkan bahwa, nasionalisme merupakan “bentuk ide kabur dari makna-makna yang kongkrit”, yang kebangkitan dan berkobarnya hanya bersifat insidental, memorial, dan penampakannya pun hanya berupa sikap sentimental bahkan emosional.
Akar nasionalisme di dunia Islam
Sepanjang sejarah umat Islam, kaum muslimin tak pernah sebelumnya mengenal paham nasionalisme. Hingga kemudian pada abad 17, lahir upaya imperialis untuk memecah belah negara Khilafah dengan cara melancarkan serangan pemikiran, melalui para misionaris yang didirikan sepanjang abad 17, 18, dan 19, yang sebagian besarnya adalah dari Inggris, Perancis, dan Amerika. Tak cukup dengan itu, mereka juga membuat rekayasa-rekayasa politik rahasia untuk menyebarkan paham nasionalisme dan patriotisme.
Namun sepanjang usaha itu pula, mereka menuai hasil ‘gatot kaca’, alias gagal total kakean cangkem.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka, Al-Madrasah Al-Wataniyah, pun didirikan di Syiria oleh seorang Kristen Arab (Maronit), Butros Al-Bustani. Nama sekolah ini menyimbolkan esensi misi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan).
Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa’ah Badawi Rafi’ At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al-Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, 1993). [www.learnerscientist.wordpress.com]
Sepanjang kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum kafir telah berhimpun bersama, dimulai dengan mengadakan perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916, yakni ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Khilafah. Kemudian barulah pada 1923 dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne yang dipelopori oleh si pemabok dan penggila seks akut, Mustafa Kemal at-Taturk, rencana itu mulai diimplementasikan.
Begitulah saudara, Khilafah yang menjelang akhir hayatnya disebut-sebut sebagai “the sick man” oleh Tsar Nicholas I (Rusia), pada akhirnya pun modiar! Menjadi negeri-negeri ringkih dan "busung lapar" sebab dipecah belah menjadi 55 negara.
Maka inikah iman? Inikah hubbul wathan minal iman?
Padahal dalam praktiknya nasionalisme telah membuat tumpul fungsi sebuah dalil, “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” [al-Hujurat, 13]
Islam pun berbicara bagaimana umat seharusnya terikat dalam ikatan aqidah atau keimanan, bukan ikatan kebangsaan.
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, termasuk nasionalisme).” [HR. Abu Dawud]
Sedangkan tentang kesatuan umat, secara tegas dan lugas Rasulullah saw. sudah menyampaikan, “Sesiapa yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (Khalifah), kemudian dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim]
Belum cukup, maka dalam Piagam Madinah (Watsiqah Al-Madinah) pun disebutkan, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: ‘Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain …” [Sirah Ibnu Hisyam, Juz II hal. 119]
Karenanya, jika terdapat lebih dari satu pemimpin bagi umat Islam, maka lekatkanlah penglihatan kalian dalam hadits berikut, “Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim]
Nah, Kawan, di penghujung tulisan ini, sebelum nantinya terjadi kesalah fahaman yang berujung fatal, maka satu hal yang ingin saya sampaikan. Ungkapan kontroversial yang saya ciptakan, hubbul wathan minasy-syaithan, -yang boleh jadi akan dituduh bid’ah-ekstrem super-sesat oleh seseorang-, bukan kemudian saya maksudkan untuk mengharamkan mencintai tanah kelahiran. Karena nyatanya, nabi Muhammad saw. juga merasa berat hati meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah, saat beliau berhijrah menuju kota Madinah. Hanya saja, ketika dalil palsu hubbul wathan minal iman ini dipergunakan sebagai bemper untuk mengelabui umat Islam, maka percayalah, itulah setan. Dan bila Anda punya nyali, maka pada saat itu meludahlah ke arah kiri sembari berkata, hubbul wathan minasy-syaithan! [ahsan hakim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment