Rabu, 22 Juni 2011

The Art of Action


Polisi itu menyerupai orang biasa, dengan pakaian layaknya masyarakat umum yang ikut pengajian tiba - tiba berteriak diantara kerumunan jama'ah yang sedang mendengarkan kajian mengenai kristenisasi. Polisi berpakaian masyarakat biasa itu langsung mencoba menghentikan kegiatan pengajian tersebut.

Ustad dengan tenang mengarahkan situasi, dan melakukan komunikasi terbuka dari atas podium terhadap polisi itu. Dengan dukungan jama'ah, pengajianpun dilanjutkan. Hingga selesai kegiatan tersebut. Ustad tersebut digiring menuju kantor kepolisian setempat. Isi khutbahnya dianggap memprovokasi masyarakat dan mengancam ketertiban umum.

Namun, dikantor kepolisian justru polisi tersebut mendapat gamparan dari komandannya. Setelah akhirnya Ustad tersebut melakukan argumentasi serius mengenai mekanisme penangkapan dirinya. Baik dalam hal surat perintah penangkapan hingga etika komunikasi dari polisi tersebut.

Kejadian itu terjadi di awal tahun 1990-an. Zaman dimana masa subversif order baru terhadap gerakan Islam jauh lebih keras dan impresif dari kondisi saat ini. Nama ustad itu adalah H. Ahmad Shonhaji.

saya mendengar cerita ini, ketika saya duduk satu mobil sedan Toyota Vioz milik pribadi beliau. Beliau yang menyupir langsung, dan saya duduk tepat disamping beliau. Mendengar secara detail mengenai cerita itu, membuat hati kecil saya tertunduk menahan malu.

20 Hari Di Jalur Gaza

Sehabis itu, ia bercerita bagaimana ia dikawal oleh jaringan Ikhwanul Muslimin, mulai dari Mesir hingga berhasil menembus Jalur Gaza selama 20 hari sebagai relawan kemanusiaan. Belum selesai rasa malu saya, saya menjadi semakin malu.

Kedua cerita itu telah membuat saya lebih banyak mengevaluasi diri saya, baik dari masalah Amal dan keseriusan saya ketika terjun ke dalam sebuah kancah kehidupan bernama dakwah dan jihad.

Hari ini, dimasa reformasi ini. Ada begitu banyak pemuda berteriak tentang anti zionis, mengkumandangkan retorika retorika keislaman. Bersenandung dalam kata - kata bermuara dukungan terhadap syariat. Tampil didepan umum, disanjung dan dipuji atas nama militansi dakwahnya, lalu berjalan layaknya Shahaludin Alayubi di Millenium ini.
Tapi dari kesemuanya itu termasuk saya, mungkin hanya mengembar gemborkan dakwah dalam permainan retorika. Tapi keberanian di dalam diri ini ternyata semu, ternyata rancu, karena zaman saya ini, hanyalah zaman warisan yang belum seberat ketika Ustad - ustad dibantai seperti binatang baik dalam cerita di Tanjung Priuk 1982, tragedi warsidi di Lampung dan sebagainya.

Kadang saya berpikir, sekilas sejak saya pertama kali mengenal lelaki pendek, penuh canda dan sangat down to earth itu. Di kantor, saat bercanda ia seperti menanggalkan baju sebagai seorang direktur lembaga. Ia benar benar membumi tanpa membedakan karyawan mulai dari posisi manager hingga office boy. Tak ada batas dan kelas, yang ada hanya penilaian berdasarkan ketakwaan dan kesholehan semata.

Saya tidak menyangka, bahwa ia pernah turun di Jalur Gaza, pernah menantang tirani dizaman ketika hak untuk bebas berpendapat justru lebih sadis dikebiri. Dan salah satu ceritanya yang 'menampar' saya. Suatu kettika ia sedang mengikuti mata kuliah dikampusnya.

Di Usir Dari Kelas

Mata kuliah mengenai kristologi itu ternyata harus melalui mekanisme yang melanggar nilai nilai tauhid. Secara detail sulit untuk menceritakannya disini. Intinya, ketika Dosen dari salah satu kampus IAIN di daerah jabotabek itu mengarahkan dia untuk melakukan kompromi terhadap nilai - nilai Al Kitab. Ia justru melawan, bahkan dikeluarkan dari kelas dan tidak boleh ikut kelas kuliah hingga akhir semester.

Namun masih ditahun 1992-an itu ia melawan arus perang pemikiran itu. "Untuk bab Tauhid saya tidak menaruh kompromi pada apapun" itu kalimat yang menggetarkan ruh tarbiyah saya. Saya mendengarkan ceritanya dengan seksama, sambil menahan getar air yang ingin menetes. Wajar kalau itu menginspirasi saya, karena ia melakukan semua itu ditahun era orde baru, era dimana gerakan Islam lebih sadis dikebiri.

Ia tidak lari ke luar negeri, ia tetap ada di Jabotabek, menjalani dakwah tabligh dari kampung ke kampung. Sebelum akhirnya garis sejarah menuntun dia hadir disalah satu lembaga zakat di daerah Jabotabek.

Beginilah jubah seorang da'i yang sesungguhnya. Mengingatkan saya kepada nasehat almarhum ustad Rahmat Abdullah "Seorang da'i tidak akan pernah mengingat - ingat pekerjaan pekerjaan besar keumatan yang telah dikerjakan. Ia tidak akan pernah membicarakannya setelah tuntas mengerjakannya. ia justru akan langsung beralih untuk menuntaskan amanah pekerjaan dakwah lainnya"

Nasehatilah hidup dengan pembelajaran dari kepekaan

H.Ahmad Shonhaji, adalah cermin untuk sebuah introspeksi diri bagi diri saya secara pribadi. Tentang kezuhudan, tentang keramahan dan kedewasaan toleransi, tentang ketegasan mempertahankan nilai prinsip, tentang kelemah lembutan yang tidak membuat seorang da'i menjadi cengeng menghadapi keterbatasan. Tentang profesionalisme dalam managerial dakwah. Dengan keteladanan menjaga amanah, tentang kemampuan berkomunikasi kepada masyarakat dan mad'u secara proporsional, tentang membaca potensi potensi team work dan mengembangkannya menjadi senjata ampuh kelembagaan.

Bahkan secara haru, saya pernah melihat ia mengalah ketika pendapatnya yang telah ia anggap yang terbaik tak jadi dijalankan, karena seorang rekan kerjanya telah memberikan masukan yang dengan objektif ia mengakui bahwa pendapat ia tidak lebih baik dari pendapat rekan sekantornya, yang sejatinya adalah bawahannya sendiri.

Suatu ketika saya memberitahu ia mengenai perjalanan kealpaan saya. Ia Berkata "Sedang ada pertarungan didalam dirimu Thufail". kelanjutan dari kalimat itu, seakan ada banyak suara di kuping saya. Mulai wajah Istri saya, anak saya, teman teman saya, dan semua sahabat saya. Mereka seakan berkata "Ayo Thufail, menanglah...kamu harus menang! kamu bisa menang!".

Di dalam ruangan dimana hanya kami berdua berbicara face to face, dari hati ke hati. Dari dalam ruangan itu juga saya teringat ayah angkat saya Ust Abu Rizqy Al Jambary. Seakan dia hadir di ruangan itu dan berkata "Kembalilah berpikir dengan hati anakku, dan selalu belajar keluar dari pergulatan hakiki antara nurani dan bisikan manusiawi sebagai juara sejati.

Dan saya rasakan Ust Ismeidas seakan muncul berkata "Antum bisa akhi..." Bisikan - bisikan nurani itu terus mengisi imunitas energi ruhiyah saya.

Dan H. Ahmad Shonhaji bukan hanya sebuah kezuhudan yang saya lihat dalam dirinya, tapi kemampuan untuk membangun semangat pemberdayaan diri juga merupakan skill kehidupan yang luar biasa dimiliki dirinya.

Karena pada hari itu, ia telah memberi ruang untuk menghidupkan sebuah pintu dari energi pembelajaran. Dan...untuk sebuah pergulatan nurani, Ia telah mewarisi bagaimana energi kemenangan yang pernah ia rasakan itu hadir dalam diri saya.

Ya Rabb, bersyukur padaMu telah mempertemukan kami dengan guru - guru mulia ini, dalam sebuah ajang pembelajaran hidup bernama Universitas Kehidupan. (Judul diganti, dan essai dicaplok dari tulisan Thufail al Ghifari)

3 komentar:

  1. Inspiratif banget bang. tapi ane mau ngeralat, kejadian tanjung priok tu taun 1984 (barengan ama hari lahir ane 12 September), bukan 1982

    BalasHapus
  2. mangtap kang... tp ralat sdikit, harusnya 'ustadz'(artinya guru/pngajar) bukan 'ustad' (artinnya ulat) :)

    BalasHapus
  3. Fajar 212 : mudah-mudahan Thufail ngeralat ya :D. Saya males ngeralat eh, nantilah kalau buat tulisan lagi. Thx Nagageni.

    Vincent: baru tauh sy. Jago bahasa arab nih rupanya, bung vincent. Sy mah taunya yang kasar kasar. Ente bahlul misalnya :). Jazakallah bro

    BalasHapus

be responsible with your comment