Kamis, 05 Mei 2011

Kekalahan-ku



Aku segera menghubungi sahabatku. Mengkonfirmasi kabar yang kudapatkan dari slaughteringbapahomet Ada duri di hati, sesak didada, menggegedor-gedor sama halnya ketika dulu aku menangisi Al Durra.

Seorang mujahid pergi. Mujahid besar yang memimpin caravan pasca di ledakannya mobil Syaikh Abdullah Azzam.

Siapalagi kah yang akan memimpin caravan syuhada?

Aku percaya, darah yang tumpah dari tubuh seorang mujahid akan menggemburkan tanah, menyuburkan tanaman dan pepohonan tinggi kuat rindang sekokoh batang Sequoia atau Baobab akan muncul diantara tanaman-tanaman kecil nan rindang. Pohon itu akan menjulang tinggi, berurat akar, tak mempan oleh terpaan hingga ajal Allah lah yang kemudian menentukan.

Usamah, siapalagi yang akan menggantikanmu?

Ini adalah kebahagiaan bagimu, dan sesungguhnya aku pun tidak murni bersedih, berduka. Akan tetapi, kebahagiaan pun mengalur, muncul karena yang kucinta pergi menuju Yang Dicintainya.

Di tengah segala caci dan benci, ia terus melangkah pergi sesuai dengan cita-cita yang ia proklamirkan: Isy kariman aut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid. 

Digempuran fitnah dizaman yang di sore harinya seseorang beriman, dan di esok harinya seorang menjadi kafir (seperti yang disampaikan Rasulullah nan mulia) Usamah bin Ladin menutup matanya dengan kebanggan sebagai seorang ksatria di hari ketika semua manusia dibangkitkan (insya Allah)


Selamat jalan wahai yang mencinta.
Selamat berbahagia, wahai Usamah. 
Selamat bertemu Matahari Cinta.


***
Dalam kegelapan itu, aku keluar dari tempat yang membuatku sesak ini. Tak ada keberanian selain keberanian pribadi, bukan keberanian untuk menghentikan kegiatan sialan ini. Aku terlalu memikirkan orang, perasaan hati orang-orang yang bahkan sudah mulai menangis.

Aku melangkahkan kaki dengan kebencian, bercampur sakit hati. Ada sesuatu memukul-mukul hatiku. Aku telah dikalahkan saat itu. Aku kecolongan. Suara azan yang terdengar, mengajakku mengambil air yang dingin Mega Mendung. Berwudhu.

Tak lama berselang seorang pemuda mengikuti shalatku. Setelah salam disampaikan ia bertanya.
“Kenapa keluar Mas?” tanyanya penasaran.
Aku balik bertanya padanya. “Kalau Kamu kenapa?”

Ia menceritakan bagaimana pertempuran batin terjadi di ruang gelap itu. Ia berdoa agar Allah menunjukkan kebenaran melalui bisikan hatinya. Jika acara ini salah, ia memohon pada Allah untuk mengeraskan suara adzan. Maka suara adzan pun membesar, menyadarkannya. 

Ia bangun dan mendapati bulu kuduknya meremang. Bau amis menyengat. Dan setelahnya beberapa orang mengatakan padaku, bahwa mereka melihat ada sosok putih yang berusaha masuk ke tubuh orang-orang yang ada di dalam ruangan gelap itu.

“Kalau Mas kenapa keluar?” Ia kembali bertanya.
“Karena doa bersama yang dilakukannya adalah hal yang rusak. Keimanan saya tidak memperbolehkan adanya doa bersama. Saya juga tidak yakin yang memimpin doa bersama itu agamanya apa, karena ia telah melanggar waktu shalat.”

Pemuda ini, setidaknya punya kesepakatan yang sama dengan saya. Ia keluar dari ruangan itu karena dorongan pemahaman, apalagi kami sama sama menyadari bahwa si pemimpin doa itu bermasalah dalam mengucapkan Allah (ia melafalkannya dengan Awlah)

 Dengan berat hati, dan sedih aku latas  mengatakan padanya. “Saya minta maaf karena  tidak menanyakan secara detail apa yang bakal dia lakukan. Saya minta maaf, jika hal ini menjerumuskan seorang pada kesyirikan.”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Setidaknya Mas tadi sudah keluar, dan itu membantu saya untuk memberanikan diri keluar.”

Ah! Keberanian macam apa yang kumiliki? Aku terpukul. 

Aku sering bicara tentang jihad tetapi ketika dihadapanku sesuatu telah terjadi dan aku masih saja mempertimbangkan, merasa kasihan dengan orang yang tengah menangis. Aku kebanyakan menimbang bahwa waktu untuk menegur tidak tepat.

Aku jadi teringat kisah tiga tahun yang lalu, ketika seorang pemuda Syiah menghantam bus yang mengantarkan teman-teman kerja ku outing di Bali. Di depan Hardrock CafĂ© ia melihat teman-teman kerjanya dijerumuskan dan sengaja menjerumuskan diri. 

Ia melihat orang-orang muntah, menenggak minuman keras. Ia menangis, ia menghantam bus. Kemarahannya seperti serigala yang terluka. Ia menangis.

“Apa ini kerjaan HRD?!” Ia menangis.

Ia tidak tahu bahwa suasana itu bukan diset oleh HRD tetapi oleh kontraktor perusahaan kami sebagai bukti terimakasih.

Banyak orang menyayangkan kejadian itu. Bahwa ia tidak cukup bijak karena murka yang ditampakkan saat semua orang sedang dalam kondisi puncak kebahagiaan. Ia tidak bisa menempatkan. 

Kupikir, ia bisa menempatkan diri. Ia cukup pemberani ketimbang diriku, yang masih mempertimbangkan untuk memperlihatkan emosi di acara itu.

Aku, kemudian menaiki tangga. Memanggil asisten trainer tersebut menggunakan kode. Setelah dirinya sampai dihadapanku, aku bertanya. 
“Agama Bpk. Kokon apa?”
“Memang kenapa?”
“Agamanya apa?” Aku bersikukuh.
“Katolik," ucapnya.

Lalu Aku menjelaskan kekecewaanku. Menjelaskan padanya bahwa dia adalah muslim sama sepertiku.
“Tapi Pak Kokok, membawa sesuatu yang baik. Keluarganya pun banyak yang muslim.”
“Bukan itu masalahnya. Coba sepulang dari sini Mas Googling tentang syiriknya doa bersama.” Ujarku. “Sekarang, sampaikan ke Pak Kokon bahwa ia telah melanggar waktu Maghrib.”
Ia membantah. “Tapi ia bilang jika dihentikan akan membuat kondisi (tangisan) tidak sampai pada puncaknya.”

Aku katakan padanya bahwa aku tak peduli. Sebelumnya aku sudah memberitahukan pada dia mengenai terbatasnya waktu. Aku sudah mengingatkan. Permasalahan teman-teman kami atau aku sendiri kadang melalaikan waktu shalat (tidak tepat waktu) itu permasalahan kami. Setidaknya aku harus konsisten memberi ruang bagi teman-teman kerjaku untuk shalat. 

Aku sedikit mengancamnya.

Ia kemudian naik ke atas. Aku mengikutinya, masuk ke dalam ruang gelap. Aku masih mendengar suara-suara, gumam-gumam itu.

“Ya Awloh…. Ya Awloh… bersihkanlah hati kami.”
“Ya Yesus…. Bersihkanlah hati kami.”
“Bagi muslim berdzikirlah. Bagi umat nasrani bacalah firman-nya, bagi yang Budhis,lafadzkanlah nama Tuhan Anda.”

Beberapa orang menangis.

Aku meminta anak muda itu untuk menyampaikan pesanku. Ia beringsut, menghampiri telinga sang pemimpin doa. 

Ada hening terasa. Tak lama kemudian, doa pun dihentikan. Lampu dinyalakan. 

Banyak wajah yang tampak sembab. Ada suara tangisan, menyerupai tangisan histeris muncul dari mulut seorang wanita. Mayoritas orang diruangan itu kemudian bersalaman dan memeluk sang pemimpin doa.

Aku menghampiri trainer  itu. “Ada yang ingin saya bicarakan," sahutku.

Wajah sang pemimpin doa kebingungan. Ia mengetahui aku yang mengentikan kegiatan itu. Ia tentu bisa melihat wajahku yang terlihat menahan sesuatu.

Ia duduk. Aku pun duduk.
“Maaf,” aku memulainya. “Saya suka penyampaian Bapak mengenai how to improve our sales mentality, bagaimana Bapak mengetengahkan pengalaman berharga sebagai seorang Sales. Tapi, ada suatu hal yang harus Bapak perhatikan.”

“Apa?” tanyanya kebingungan.

Aku jelaskan bagaimana ia telah melanggar waktu yang sudah ditentukan, bahwa ia telah menabrak waktu shalat meski sudah kuperingatkan. Aku nyatakan ketidaksukaanku, dan apa yang ia lakukan mengenai doa bersama bukanlah hal yang baik bagi keyakinan kami.

Ia mengolah ketenangan dengan tarikan nafasnya. “Saya meminta maaf jika halnya seperti itu, tapi…” ia menjelaskan kekhawatirannya bahwa audiens kehilangan moment penting pembersihan (menggunakan tangisan.”

Aku memegang lututnya. Aku hentikan ucapannya, aku tidak peduli alasannya, hingga akhirnya ia kembali meminta maaf.

“Mengenai doa bersama itu,” ia tetap pada pendiriannya. “Hal itu merupakan hal yang universal," jelasnya.

Aku memotong. “Saya tidak percaya universalisme agama. Saya percaya Islam yang paling benar. Dan sebaliknya bapak pun seperti itu, menganggap Katolik yang benar. Dari situ kita bisa melangkah untuk memperbincangkan klaim kebenaran. Saya tidak percaya universalisme agama!”

Tampaknya ia paham, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang seringkali dianggap kepala batu oleh para mistikus dan penganut perenialisme.

Tak ada lagi yang tampaknya bisa ia lakukan. Ia meminta maaf sekali lagi, padaku. 
Aku pergi meninggalkannya. Dan perkerjaan lainnya menunggu (menjelaskan apa yang kulakukan pada atasanku.)

* * *
Aku mungkin sudah melepaskan sedikit bebanku saat itu, meminta maaf kepada beberapa orang atas apa yang telah terjadi. Tapi tidak seluruhnya lepas. Aku merasa berdosa dengan kesempatan yang kuberikan padanya. Aku terpukul. Harga diriku terasa direndahkan karena kesalahan yang kuperbuat.

Aku memohon pada Allah untuk memaafkanku. Aku memohon pada Allah untuk mengkaruniku keberanian yang paripurna. Keberanian yang tulus. Aku memohon pada Allah agar aku dikuatkan untuk terus menerus memperbaharui keimananku, memperbaiki dan meningkatkan keberanianku hingga ketingkatan yang ekstrim, ketingkatan yang syaikh Usamah bin Ladin tempati.

Mengingat peristiwa itu rasanya memalukan. Di atas tempat pembaringan ini, kukecup istriku. Kupeluk dia dalam tidurku.

Ya Allah bahagiakanlah Usamah bin Ladin.

Selamat jalan wahai yang mencinta.
Selamat berbahagia, wahai Usamah. 
Selamat bertemu Matahari Cinta.

4 komentar:

  1. Duhai Yang Menciutkan hati manusia, ampunilah kami!
    Sering kami begitu berani membusungkan dada kepadaMu hanya karena kami ciut merasa tidak berani kala apa yang tidak Engkau sukai kami biarkan tanpa penyelesaian yang sempurna. Akibatnya, mereka yang melakukan apa yang tidak Engkau sukai kembali melakukannya lagi di lain kesempatan. Tidak ada efek "zawajir" dari labrakan kami kepada mereka. Bukankah itu artinya menjadi setengah-setengah? Karena seharusnya, demi hukumMu yang sublim merahmati seluruh alam, labrakan kami adalah pemutus keterulangan apa yang tidak Engkau sukai di kemudian hari, (setidaknya oleh pelaku yang sama) di depan kami.
    Ampunilah kami...
    Ampunilah kami...
    Ampunilah kami...
    AstaghfiruLlaah al-'azhiim...
    Bagaimanakah kami bisa memasuki surgaMu...

    BalasHapus
  2. Aa Gym bilang, eksistensi manusia itu ibarat Ahkamul Khamsah. Maka Syaikh Usamah bin Ladin masuk dalam kriteria 'wajib': Dicinta dan dielu-elukan hidupnya, ditangisi kepergiannya..

    Kita?

    -ahsan-

    BalasHapus
  3. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan 2X

    94 : 5-6

    Satu lagi martir telah gugur, semakin dekat uamt dengan kemenangan

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

be responsible with your comment