Tali Kolor

Posted: Selasa, 15 Februari 2011 by Divan Semesta in
3


Nyala sekarang sudah bisa berjalan, meski jalannya masih sempoyongan. Kadang ketika berjalan lurus langkahnya menyorong kekiri, ke kanan, kadang terjatuh.
Waktu pertama kali bisa berjalan, di pertengahan bulan Februari lalu wajahnya kelihatan senang sekali. Oh tidak, tidak hanya senang, tapi bahagia. Kelihatannya ceria sekali. Dengan langkahnya dia mengeksplorasi sudut kamar, dapur, dan ruang tamu kami yang sederhana. Matanya yang kadangkala seperti mata Rambo, sayu tampak berbinar-binar. Kalau sudah berbinar-binar, bulu matanya yang seperti bulu mata gajah di Sesame Street seolah-olah melenting.

Anak kecil memang dibuat lucu oleh Allah. Apapun itu, meski saya saat ini tidak seobsesif, membayang-bayangkan wajah anak sehabis pulang kerja, sehabis dari luar kota, sehabis berpergian bertemu teman-teman, seperti halnya ketika dulu masih memiliki anak satu-satunya.

Ada seorang Ibu, teman Ira mengajar pernah mengatakan. “Waktu punya anak pertama rasanya bahagia luar biasa. Waktu punya anak kedua, ya bahagia tapi nggak sebahagia anak pertama.”

Ini bukan berarti menyepelekan anak ke-dua. Manusia sewajarnya memang begitu. Saya senang sekali ketika menemukan kebab murah dan lezat di Bogor, dan ketika keesokan harinya membeli daging cincang yang digulung dengan roti cane itu, rasanya tidak se-wah gigitan pertama di malam sebelumnya.

Itulah sebabnya, jika anak pertama di tinggal bekerja untuk pertama kali, entah sekedar membeli brokoli di pasar, atau masuk kerja pertama kali pasca cuti melahirkan, menurut pengakuan ibu-ibu muda yang pernah saya temui, rasanya sedih).
“Kalau yang kedua, biasa saja. Apalagi yang ketiga,” tambah salah seorang pengajar di PAUD Merah Putih.

Dan perkataan itu jangan diartikan, bahwa setiap ibu semakin kehilangan rasa sayang setiap anaknya bertambah.

Setiap kali melahirkan anak-anaknya, sang ibu akan semakin professional, --meskipun perasaannya semakin biasa saja. Jika diawal memiliki anak ia seperti khawatir menggendong anak yang tubuhnya se-upret. Ia takut, teramat hati-hati seolah-olah khawatir tulang belulang bayinya patah-patah. Tetapi, setelah memiliki anak kedua seorang ibu dengan cekatan menggendong, mengganti popok anaknya.

Terkait kehati-hatian seorang ibu, malahan ada sebuah kejadian memilukan sewaktu saya tinggal di Malang.

Seorang kenalan Ira, kehilangan anaknya. Pasalnya ketika demam mencapai 40 derajat sang Ibu langsung membawa anaknya ke dokter (sampai disini tindakannya masih tepat). Setelah pulang dari dokter sang ibu memberikan anaknya obat. Akan tetapi panasnya tidak turun-turun juga, walhasil si ibu segera pergi ke dokter berikutnya, dan tidak mempan pula obatnya, lalu pergi ke dokter selanjutnya, dan ia minumkan obatnya. Dalam satu hari ia mengganti dokter hingga tiga kali dan otomatis memberikan pula obat yang berbeda kepada anaknya. Selang satu hari kemudian, sang anak yang malang itu meninggal dunia. Dokter menyatakan meninggalnya diakibatkan keracunan obat, karena panik. Sang ibu pasti mendapatkan banyak pembelajaran dari kejadian yang memilukan itu.

Demikian pula seorang ibu, ketika memiliki anak kedua, ketiga dan seterusnya. Dia akan semakin ahli, semakin tangkas, semakin tenang ketika megurusi anaknya.
Seoran ayah pun begitu. Kelihatannya, rasa sayang saya terhadap Nyala tidak sebanyak rasa sayang saya terhadap Nyawa ketika seusia Nyala sekarang. Tidak juga.
Saya menyayangi keduanya, hanya saja ya, rasa sayang saya bisa saya tekan, tidak saya dramatisasikan seperti halnya rasa sayang sepasang suami istri yang baru seminggu dua minggu, sebulan dua bulan menikah.

Kalau melihat lucunya Nyala, saya jadi terpikir kembali akan keinginan yang hanya menginginkan dua anak saja, karena saya pengen bisa cepat cepat jalan-jalan, melakukan petualangan bersama Ira.

Saya tidak pengen khawatir meninggalkan anak, ketika kami misalnya bertamasya dan menjelajah sebuah daerah, entah di Indonesia, atau mungkin saat menjadi back packer ke Mekah setelah sebelumnya terlebih dulu melawat ke Mesir, ke Turki atau malah mengkol lebih dulu ke Bosnia.

Tapi, hati manusia memang seperti sengaja dibuat untuk dilepaskan ke samudera: terombang-ambing, karena adakalanya saya pasti merindukan wajah lugu anak-anak saya ketika masih balita. Ngangeinin saat menikmati masa-masa ketika saya bisa memandang wajah Nyala atau Nyawa tanpa bisa marah. Menikmati benar masa-masa ketika suara mereka seperti suara kucing ketika menginginkan sesuatu, “hoh, hoh!” menikmati benar ketika air liur anak-anak satu dua tahun itu masih wangi ketika dicium, menikmati menghirup bau keringat mereka, menikmati bagaimana ketika melihat anak-anak kucing, anak sapi, anak orang tiba-tiba saya teringat akan anak-anak saya yang menunggu dirumah.

Saya mencintai keluarga kecil saya, dan saya pun tahu, di sisi lainnya, Allah senantiasa meminta lebih kepada saya, meminta kepada banyak lelaki untuk lebih mencintai-Nya, ketika seruan para mujahid berkumandang menggetarkan hati.
Saat ini, saya tak lebih, seperti halnya lelaki biasa, dengan kata-kata tak biasa yang kadang membuat saya terbebani untuk mempertanggungjawabkannya. Saya senantiasa berdoa agar Allah membantu menguatkan, menetapkan hati saya, mencintai Dia, diatas kecintaan saya pada mahluknya.

Kemudian, ketika saya mengetik tulisan ini, azan Maghrib terdengar.

Lima menit berlalu saya masih mengetik. Tiba-tiba, istri saya senyum-senyum mendatangi (konteks mendatanginya harap jangan disalah artikan). “Katanya mau jihad? Kalau mau jihad sholat ke masjid,” tegurnya.

Yah, apa mau dikata. Ada perilaku saya yang masih seperti orang munafik, karena tanda-tanda orang munafik itu malas ke masjid dan suka mengulur waktu shalat. Hm, kalau mau jihad memang harus diawali dari banyak hal. Kalau mau jihad usahakan sholat jangan diolor-olor, karena jihad bukan tali kolor.

Ampun deh gue.

3 komentar:

  1. rulian says:

    "...menikmati bagaimana ketika melihat anak-anak kucing, anak sapi, anak orang tiba-tiba saya teringat akan anak-anak saya yang menunggu dirumah."

    wah, dapet sudut pandang baru nih saya :D
    tapi kok liat anak kucing, sapi, dll bisa kepikiran sama nyala & nyawa?

  1. Mau kepikiran siapa lagi Lul? Kepikiran Ulul? Amit-amit deh :D

  1. Anonim says:

    Itu mungkin kenapa jihad melawan hawa nafs itu disebut jihad maior ya, kang.

be responsible with your comment