Vaksinasi

Posted: Kamis, 16 Desember 2010 by Divan Semesta in
8

(Kalau nggak ada wabah, jangan maen judi ah)

Nahda, ponakan saya nampaknya mau di vaksin. Tapi, orangtuanya bingung tentang vaksin itu bagaimana. Hm, nampaknya vaksinasi atau imunisasi masih bakal jadi perdebatan di dunia Islam atau bahkan di dunia internasional sekalipun.

Mungkin pandangan saya tentang vaksinasi atau imunisasi ini bisa sedikit membantu. Bukan membuat yakin tapi menjadikan kita mempertimbangkan apa yang dilakukan.
Begini, saya kamu istri saya orang tua saya adalah hasil dari vaksinasi, imunisasi. Saya saudara saya hingga saat ini sehat walafiat. Alhamdulillah. Jadi secara general vaksinasi yang saya alami, kamu alami, kita alami adalah sesuatu yang baik.

“Di Detik.com diberitakan ada 5 balita semaput setelah di vaksin.” Kata bapaknya Nahda.

Itu mungkin benar, tapi harus detail informasinya. Ke lima balita itu divaksin apa? Kalau divaksin seperti vaksin yang pernah kita rasakan, mungkin ke lima balita itu memiliki kondisi berbeda dengan orang kebanyakan. Atau mungkin si dokter, mantrinya salah melakukan prosedur.

Dalam dunia kedokteran ada kondisi-kondisi yang harus dipatuhi. Misalnya seorang balita ketika demam nggak boleh disuntik. Saya tidak mengerti penyebabnya, tapi yang jelas hal itu akan mengakibatkan sesuatu yang fatal, nah bisa saja kesalahan prosedur berlaku di sana.

Lagipula, di dalam ilmu pengetahuan kedokteran, errornya seseorang karena obat bukanlah hal yang aneh. Karena yang namanya obat-obatan itu sebagus-bagusnya tidak akan menjamin cocok untuk seluruh manusia. Satu resep tidak mungkin diberlakukan untuk semua manusia. Tergantung kekebalan (yang menyebabkan perbedaan penggunaan dosis) tergantung kesehatan, tergantung lingkungan dan lain sebagainya.

Invention atau penemuan yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki sisi gelap. Apapun itu. termasuk imunisasi atau vaksinasi. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah menyalah-nyalahkan terobosan yang dilakukan Edward Jenner atau Pateur (vaksinasi) untuk kemanusiaan. Dalam logika statistik kedokteran atau farmasi atau keilmuan, jika dari ratusan juta rakyat Indonesia yang di vaksinasi terdapat lima orang semaput maka vaksinasi akan terus dijalankan, tetapi dengan berbagai penelitian untuk menjawab kondisi apa yang menyebabkan lima balita malang itu semaput? Dan bagaimana mengatasi hal itu kedepannya?

Memang bukan hanya lima orang, mungkin sepuluh orang, mungkin seratus orang balita semenjak vaksinasi dilaunching di Indonesia (di masa lalu) tapi membandingkan kesehatan ratusan juta orang dengan ratusan menjadi tidak significan.

Dulu anak saya yang pertama melakukan vaksinasi lengkap (yang wajib) sementara si Nyala si ucrit di vaksinasi-nya hanya di awal saja (tidak sebanyak vaksinasi dan imunisasi yang dilakukan terhadap Nyawa, terhadap saya, kamu, kita.)

Kenapa?

Analisanya bukan karena kekhawatiran akan konspirasi vaksinasi atau imunisasi dari pabrik farmasi Negara maju (sekali lagi, ini untuk vaksinasi yang biasa digunakan. Vaksinasi yang sudah saya, kamu coba)

Kami mengnentikan vaksinasi dan imunisasi untuk si ucrit karena kami tidak mau berjudi.

Saya pernah membaca sebuah terbitan, bahwa virus untuk vaksinasi membutuhkan medium. Nah sialnya medium itu adalah sel sapi atau babi. Saya nggak mau dong maen judi. Jadi saya putuskan saja. Toh, saat ini tidak ada wabah yang berbahaya, tidak seperti masa ketilka Edward Jenner memperkenalkan cairan cacar sapi kepada manusia untuk melindungi wabah cacar, atau seperti masa ketika Louis Pasteur memerangi rabies setelah memanfaatkan sumsum tulang belakang kelinci kemudian digunakan pada seorang bocah bernama Meister --yang busyet banget sampai-- 14 kali digigit anjing gila, atau pada masa wabah antraks, perang dunia ketika vaksinasi dan imunisasi itu masih benar-benar dibutuhkan.

Sekarang, ketika kesehatan melingkupi dunia kita saat ini (harapan hidup manusia abad ini jauh lebih tinggi ketimbang abad-abad sebelumnya) saya gunakan saja makanan-makanan yang sehat, asi madu udang susu vitamin c dan lain sebagai penjaga daya tahan tubuh anak-anak saya.

Di masa sehat, di masa ketika peperangan tidak menjadi bagian dari kehidupan saya, ketika banjir bandang atau tsunami yang memakan banyak korban tidak kita alami maka kami biarkan saja anak-anak itu tumbuh dan mempercayai imun yang ada di dalam tubuhnya. Intinya, dalam pandangan kami vaksinasi (yang dulu pernah saya, kita alami) masih diperlukan dalam kondisi ekstrim (ketika imun alami di dalam tubuh kita tidak begitu bisa diharapkan).

Meski tidak mau berjudi saya masih memandang positif vaksinasi atau imunisasi yang pernah saya, kamu, kita alami (bukan dalam artian menganjurkan atau mau melakukan, karena saya tetap tidak mau kita maen judi).

Pandangan positif saya muncul karena memang munculnya vaksinasi dan imunisasi --yang diawali oleh para jenius itu-- murni untuk kemanusiaan. Murni untuk menghancurkan wabah. Diantara mereka bahkan ada yang menjadi sukarelawan, mencoba penemuannya sendiri untuk mengetahui sejauh mana dampak vaksinasi atau imunisasi bagi manusia.

Saya pun tidak bermasalah jika ada orang yang kemudian menyatakan dengan sukarela untuk mencoba vaksin-vaksin baru atas kesadarannya (biasanya kalau ilmuwan mencoba dia tidak dibayar. Mereka melakukan itu untuk keingintahuan. Kalau orang awam mencoba vaksin baru biasanya karena motif ekonomi), atau karena kepepet sudah 14 kali digigit kudanil yang terkena HIV (hehe). Nah, masalahnya adalah vaksinasi atau imunisasi baru yang saat ini beredar saya curigai --bermunculan di dunia ketiga-- karena tingkah polah kartel farmasi.

Saya pernah membaca buku Samson dan Delilah, terbitan Mizan --pengarangnya kalau tidak salah Zaim Ukhrowi (kalau tidak salah)--. Didalamnya digambarkan bagaimana fakta-fakta mengenai kejahatan percobaan obat-obatan dilakukan oleh kartel farmasi, Negara maju.

Sebelum perusahaan farmasi menjual obat-obatan baru (termasuk vaksinasi baru) tertentu, mereka ingin memastikan obat-obatan baru itu aman dikonsumsi untuk Negara maju, maka mereka menggunakan Afrika sebagai uji coba.

Bapaknya Nahda mengatakan ini sebagai paksaan sistematis. Saya pikir ya juga, karena memang buku tersebut menyampaikan bahwa masyarakat Afrika dipaksa untuk memakan obat tersebut dan dokter atau mantri yang menyarankannya mendapatkan insentif untuk itu.

Kalau kamu sudah melihat film Constant Gardener, kamu pasti memahami apa yang saya katakan.

Film itu tidak seratus persen benar, tapi sebagaimana penggunaan anak-anak di Siera Leone untuk berperang, penggunaan berlian untuk berkuasa seperti kita lihat dalam film Blood Diamond adalah kenyataan yang diangkat ke dunia maya.

Dunia ketiga seperti Indonesia adalah juga ladang percobaan kartel-kartel farmasi. Saya tidak memiliki bukti untuk vaksin-vaksin baru, tetapi saya memiliki banyak referensi apa yang dilakukan kartel farmasi sebelum mereka menyatakan vaksin atau obat-obatan yang mereka keluarkan aman untuk dikonsumsi dunia maju. Peritiwa ini sama saja dengan pernyataan kapitalis industry “Not in my back yard!”

Mereka memproduksi teknologi dan lain sebagainya, dan mengeluarkan sampah. Karena mereka belajar dari revolusi industry, ya, ya jangan dibuang dibelakang rumah kita. Rumah kita harus bersih, noh buang saja kesana, ke other back yard! ke Negara-negara dunia ketiga. Dan nampaknya seperti itulah vaksinasi-vaksinasi baru yang saat ini bermunculan. “Cobain aja disana, nanti kalau udah kelihatan hasilnya positif baru kita pasarkan!”

Mungkin, autis yang saat ini menggejala pun karena percobaan vaksinasi baru. Di keluarga saya, beberapa ponakan (jauh maupun dekat), anak kenalan terkena autis usai melakukan vaksinasi tambahan (seperti hmr, influenza Hib ah ngepot, saya lupa namanya) mereka sakit panas dan setelah sakit panas terjadi perubahan (autis).

Well, saya akui kesimpulan saya mentah, karena tidak ditunjang oleh data. Akan tetapi saya tetap patut curiga dong, patut skeptic setelah di masa lampau skandal demi skandal perusahaan farmasi terkuak. Mereka pernah beroperasi bukan berlandaskan kemanusiaan tetapi kebanyakannya berlandaskan materi, haus akan harta, dan menghalalkan segala cara.

Saya tidak mau dong anak saya jadi percobaan vaksinasi baru. Ogah! Dan bapak ibunya Nahda pun saya yakin tidak mau. Jadi kalau Nahda anak saya, kami akan memvaksinasi (seperti vaksinasi yang pernah diberlakukan atas saya, kamu) jika memang yakin mediumnya dari sel yang halal (dan sialnya vaksinasi belum ada label halalnya). Karenanya kami tidak mau berjudi.

Dan yang terakhir, karena kami tahu bahwa kondisi saat ini ketika –secara general-- lingkungan kita teramat sehat jika dibandingkan dengan lingkungan masa lalu, maka tidak di vaksinasi pun tidak dosa.

Wallahu alam. (mungkin ada dokter yang mau mengkoreksi pandangan saya).

Yah, mudah-mudahan anak kita sehat semua. Kalau pun sedang tidak sehat semoga Allah memberikan kesembuhan dan kesabaran untuk orang tuanya.

8 komentar:

  1. Penemuan obat-obatan adalah berkah bagi umat manusia, tapi kalo tidak digunakan dengan bijak atau tidak rasional, obat-obatan yang semula berkah itu bisa jadi petaka buat umat manusia. Sekarang-sekarang ini wacana "sehat tanpa obat" dan "ke dokter tidak harus dapat obat, tapi bisa cuma konsultasi" sedang bergaung. Bahkan dokter-dokter di negara maju (khususnya Eropa, yaitu Belanda) sangat pelit memberi obat. Kalo baru demam dikit, jgn langsung beli obat. Sebab emang tidak perlu. Istirahat aja udah cukup. Kecuali kalo ketabrak truk, trus infeksi, baru deh di rawat. Hehe.

    Mengenai vaksin gue punya pernyataan sendiri: Temen gue sekeluarga dari kecil gak pernah dikasih vaksin, dan sehat-sehat aja sama seperti orang2 yang dikasih vaksin. Intinya, dikasih vaksin gak dikasih vaksin, ternyata sama aja.

    Mengenai kartel farmasi. Emang udah jd rahasia umum bahwa detailer-detailer obat sering melakukan "affair" sama dokter, biar obatnyalah yang diresepkan untuk pasien. Bahkan ada detailer obat yang rela diajak "tidur siang" sama dokter. Akhirnya lahir gerakan nofreelunch.org. untuk menghentikan "affair" tsb. Jadi mengenai buku Samson dan Delilah, bisa jadi benar. Jadi skeptik kayaknya lebih asyik ya Kang :)

    Btw, tulisannya mencerahkan ^_^

  1. Nah itu gw sepakat tuh. Ira juga ngelakuin itu. Karena sebenernya herbal ma obat-obat ilmiah (yang halal) bukan untuk saling menafikan, tapi melengkapi. Dan kalau nggak salah Hidayatullah edisi khusus Thibbun Nabawi pernah ngangkat hal ini juga (tentang saling melengkapi).

    Ada satu kasus sedih banget, ada beberapa orang (bukan orang disekeliling gw) yang pas anaknya sakit panas tinggi dia hantemin habats, hantemin herbal, sampai anaknya makin parah. Trus gw tanya kenapa nggak kedokter? jawabnya, karena dia nggak percaya. padahal maksud ke dokter itu cuma untuk mengetahui gejalanya apa. Kalau dah tau gejalanya apa, kan kita tinggal cari obat-obatan herbal apa yang cocok. Masa kalau sakit panu dikasih habatussaudah, sakit kutil habatussaudah juga? sakit panas habatussauda lagi.

    Kita nggak diajarin gitu ma Rasulullah, setau gw rasulullah mengajarkan kita tahu dulu penyakitnya apa, gejalanya apa baru mencari resep apa yang baik untuk menyembuhkan.

    Gw kadang-kadang sampe sedih, ngeliat beberapa anak yang kurus, penyakitan gara-gara ibu bapaknya nganggap pengobatan modern itu setan. Hm....

    Yah, mau divaksin atau nggak, nggak dosa. Yang dosa-mah ngejadiin manusia percobaan biologis. Constant Gardener & Samson n delilah recomended banget.

    nofreelunch.org liat ah... thx infonya Rex. jazakallah.

  1. adieu says:

    sistem kesehatan dalam islam berkembang secara holistik di segala sektor, hulu juga hilir, preventif atau kuratif. islam, sebagai sebuah kekuasaan yang melahirkan peradaban yang luhur, dalam sejarahnya, mencatata tidak sedikit nama dan lembaga (pendidikan maupun non pendidikan) yang berusaha mengembangkan teknologi kedokteran, teknologi pengobatan (bahkan lebih modern dibanding eropa saat itu). lengkapnya, saya rekomendasikan beberapa tulisan pak fahmy amhar berikut (penjelasannya asik, saya kira):

    http://famhar.multiply.com/journal/item/70/Mencoba_Melawan_Flu_Burung

    http://famhar.multiply.com/journal/item/162/Ketika_Sehat_bukan_Misteri

    http://famhar.multiply.com/journal/item/131/Kedokteran_Islam_pakai_Uji_Klinis

  1. Pilihan 'tidak bermain judi' saat ini adalah alasan paling logis yg saya ambil. Terlebih saya bukan orang ahli, dan (bener itu), data tak mumpuni. Ditambah media gembar gembor ttg vaksinasi. Juga saya, kamu, kita divaksinasi, toh (insya Allah) sehat dan pintar sampai sekarang. Share link ttg sebaiknya tidak divaksinasi dari berbagai sumber juga dikutip guna 'mendukung' keputusan saya.

    Alhasil, saya dikatai gak gahul, gak modern, yg lebih parah mereka bilang, "liat aja nanti anaknya kenapa-kenapa". Deuh! Ngedoain, tah yah?

    Tapi setidaknya, keputusan itu saya ambil dg keyakinan ganda. Keyakinan saya akan pola hidup sehat selain vaksin sudah mampu meng-imun anak saya, juga keyakinan bahwa konspirasi masih terus berjalan yg entah lewat mana diberlangsungkan. Termasuk vaksin.

    Syukron atas tulisannya. Bukan data, tapi analisis pribadi dari bahsa seorang Divan.

  1. Bukan seorang, tapi seekor Divan, Zetya. Saling mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Btw, silahkan cek link yang Adieu beri (di atas pesan kamu. Bagus).

  1. Anonim says:

    Inspirasi nulis darimana aja datangnya ya bro?

    Btw, letupan saya yang sy alirkan dari Detik.com sebenarnya adalah permukaan dari pergolakan informasi yang sudah sy serap. Anyway, lingkup konteks rekam jejak kesehatan bayi sebelum menerima vaksin dan kondisi sekitar lingkungan (wabah dst.) memang menentukan, respon dalam kasus sampai bayi ada yang kolaps itu tentunya hasil interaksi dengan 'konteks' yg sy sebutkan tadi.

    Adapun soal komen tambahan soal salah kaprah konsumsi herbal untuk anaknya, saya kira itu memang tidak proporsional. ada kalanya pada kondisi tertentu dalam keperluan yg mendesak, produk industri farmasi dari referensi dokter setelah konsultasi perlu dipertimbangkan. mengingat saya kira herbal kadang efeknya tidak instan, yg tentunya tidak cocok dalam kondisi mendesak dan genting.

    Sikap saya terhadap vaksin agak berbeda dengan sikap saya terhadap produk farmasi lain. Saya mencoba secara proposional mana yang mantap untuk herbal mana yang mantap untuk produk farmasi konvensional, atau kombinasi.

    Hati kecil saya tetap menghargai sisi lain dunia farmasi dengan kelengkapan keilmuan dan metodologinya. Masa sih gak ada harganya kuliah mahal di kedokteran :D

    Dengan izin Alloh, Nahda kalau sakit, yang standar adalah mungkin demam, batuk, susah bab (thanks bro info nya). Kalaupun demam tinggi saya coba bawa ke dokter. Biasanya dokter Ali, di bogor deket bangbarung klo salah, ngasih resep. Saya periksa resep, saya singkirkan yg ngak perlu dan tebus yg ok. Misal sy agak kurang welcome dengan anti-biotik. Dan faktanya dia primadona di resep dan di apotik. Alhamdulillah kemudian turun demamnya dengan izin Alloh.


    Alhamdulillah sekarang Nahda tambah Rockin' setelah kami memuputuskan untuk memutus mata rantai vaksinasi untuk Nahda (dengan izin Alloh).

    Ini terjadi setelah istri saya bisa memahami dari informasi sahabatnya yang sebenarnya topiknya adalah seputar 'tawakal' kepada Alloh. Sebelumnya saya sudah alirkan fakta soal vaksinasi, apakah komposisi dan medium yang syubhat, apakah soal kedarutan tapi tidak mempan awalnya. malah sempat terlihat kekhawatiran jika dua-tiga vaksin sebelumnya yang diberikan kepada Nahda tidak dilanjut --- biasa, vaksinasi ada rangkaian paksa yang awal harus diteruskan dengan yang lain.

    Kami sekarang sudah sama sekali putus hubungan dengan vaksinasi.

    Sepertinya Nahda hari demi hari tambah rockin'. Saya perhatikan dia begitu aktif. Kalau saya pegang sesuatu dia pengen ambil yg saya pegang, sy rasakan tenaganya mantap :D. Perkembangan kecerdasannya juga bagus, dia sangat senang dengan huruf-huruf dan cover buku apalagi dengan yang berwarna. Manisnya, dia selalu senyum kepada siapapun!

    Btw, out of topic kita tunggu Menkes untuk mengumumkan merk susu formula yang bermasalah itu.. Dan kita lihat apakah insting dia untuk berada dibalik kepentingan industri farmasi apakah lebih besar daripada insting dia untuk berpihak kepada kepentingan umum! Setelah dia dipanggil DRP yg rencananya next week.

    Mudah-mudahan kita selalu diberikan kesehatan. diberikan keluasan ilmu dalam belajar dan memahami dalam rangka melindungi keluarga kita.

    Thanks bro, see you again some time

  1. Asyiknya sih Mandanya Nyawla ketemu sama bundanya Nahda, kayanya bakal ada tukar trik-trik bentengin anak dari banyak hal.
    Seorang jurusan fisika bertemu dengan jurusan kimia. Wah jurusan yang menarik kalau bicara tentang dunia farmasi.
    Btw inspirasi dari banyak hal: merhatiin banyak hal (hal ini bisa beragam. Tarik kesimpulan sendiri. Dirimukan cukup pintar sol )

    Amin. Semoga dari keluarga, dari clan bisa buat imperium ya bro heheh... banyak dinasti medieval age kan ky gitu: dynasti sonikyah, dinasti divanyah. Yang jelas kita mah nggak akan hidup pas anakcucu cicit udeg-udeg kita buat dinasti hehe.

    youre welcome dear

  1. tgh says:

    mampir bro:

    http://tegoeh.multiply.com/tag/code-x

be responsible with your comment