Referensi

Posted: Kamis, 09 Desember 2010 by Divan Semesta in
2


Sedikit pertengkaran, kami selesaikan. Malam itu, aku tidak membuatnya bungkam. Ia , kekasiku pun tidak membuatku terdiam dengan logika-logika menarik yang acapkali ia sampaikan. Kami mengetahui disaat kami diam setelah berbantahan, biasanya dikarenakan kami sama-sama emosi atau diam karena tersampaikannya sebuah kebenaran sebagai hasil korespondensi, sebagai hasil berbincang di sofa tempat kami menonton film, di atas motor, di jok mobil atau di ranjang tempat kami menghabiskan sebagian malam, atau bahkan diskusi di kamar mandi yang menghasilkan sebuah resolusi, memunculkan kristalisasi pemahaman.

Meski kami telah berada di satu pembaringan setelah sekian lama, ada banyak hal yang rasanya tidak mungkin kami bisa lakukan bersama. Untuk memahami apa yang kulakukan mungkin bisa, tetapi untuk melakukannya bersama, belum tentu, karena kami memiliki perbedaan dalam tata cara dibesarkan, dalam bersosialisasi. Perbedaan inilah yang menyebabkan pernah menyesal menikah dengannya (hal ini sudah kuberitahukan pada istriku setelah secara gemilang krisis tersebut kami lewati).

Aku, lelaki ini, semenjak masa SMA sudah terbiasa hidup santai. Semasa kuliah pun demikian. Sangat jarang aku merapihkan selimut, bantal, atau bahkan bekas kopi dan rokok yang kuhisap tadi malam.

Aku tidak menganggap keseharian hidup harus kubuat sistematis dan tersusun rapi seperti yang biasa anak AKABRI atau STPDN lakukan. Aku bukan pemalas, tapi aku juga bukan orang yang hidupnya teramat presisi seperti jarum jam yang selalu berdetak dan berputar taat.

Sebaliknya, istriku tidak begitu. Ia sangat peduli dengan kebersihan. Ia tipe wanita yang benar-benar tertata rapih. Bangun tidur harus merapihkan selimut, langsung. Tidak bisa di undur barang lima belas menit atau 30 menit. Pakaian kotor termasuk kolor harus segera dimasukan ke dalam ember atau mesin cuci. Dan bahkan setahuku, dia pernah menganggap apa yang ia lakukan sebagai ‘penyembuh.’ Ia merasa bahagia jika berhasil membersihkan rumah, menempatkan barang pada tempatnya semula. Jika kekasihku merasa lantai keramik kontrakan kami ngeres, ia akan menyapu, mengepelnya, tak peduli jam sudah menunjuk lebih dari jam 9 malam. Dan yang kurasa gila adalah setiap kali kami berpegian, kapanpun datangnya, ia memintaku untuk bersih-bersih rumah. Alih-alih ingin langsung tidur, istirahat barang sejenak setelah membersihkan diri dikamar mandi, ia malah memintaku untuk membantunya membersihkan ruangan.

Aku mencintainya dengan detail. Aku mengasihinya. Kadar kecintaan yang kami rasa terus bertambah hingga saat ini muncul sebagai sintesa dari perang urat syaraf yang parah di 3-6 bulan awal pernikahan.

Aku berubah. Mulai terbiasa menghargai kerapihan, mulai terbiasa merencanakan banyak hal. Ia pun berubah. Ia masih rapih hingga saat ini, tetapi kini ia sudah bisa, bahkan terbiasa untuk mentoleransi caraku menikmati hidup setelah bangun tidur, (dan banyak hal lainnya). Kupikir, sifat negative orang Jawa Timur yang ada di dalam tubuhnya, berkurang. Dan interaksiku dengannya menyebabkan sifat negative orang Sunda --yang ada di dalam diriku-- terkelupas selapis demi selapis.

Di hadapan sepasang kekasih, hidup bisa dikompromikan, termasuk… korespondensi kami mengenai persahabatan, tentang ikatan.

***

Yogyakarta, 2005. Kami saling menjaga, saling menghangatkan diri di sebuah terminal. Setelah subuh datang, usai menamatkan shalat subuh, seorang lelaki datang menjemput. Ia membawakan motor untuk kami kendarai.

Lelaki yang baik hati itu namanya Nunung. Ia baru kukenal seminggu yang lalu, bukan saja mau mengorbankan dirinya bangun pagi buta, melawan angin dingin outer ring road Yogyakarta, tetapi juga meminjamkan rumahnya selama seminggu untuk kami tempati. “Tak usah menyewa wisma!” tegas Nunung. “Nginap aja di tempat saya Van!” ucapnya sedikit memaksa.

Tidak itu saja. Pengorbanan yang lain dilakukan pula oleh Syamsidar. Seorang sahabat dekat, sahabatku. Ia meminjamkan motor selama dua minggu tanpa ragu, tak ada kebimbangan. Padahal, sama seperti Nunung ia baru kukenal.

Apa yang menyebabkan ia begitu percaya? Ikatan akidah? Hm, aku tak tahu, karena akidah dalam hal-hal tertentu perlu dibuktikan.

Kamu mungkin pernah mengalami, bahwa banyak diantara yang mengaku memiliki keterikatan akidah --dalam setiap khutbah personalnya-- tidak pernah kamu rasakan membuktikan ikatan tersebut dalam realita. Terlalu banyak hitung-hitungan untung dan rugi, bahkan meski mereka belum berkeluarga.

Yang diberikan Nunung dan Syamsidar yang baik hati itu adalah sebuah ikatan. Inilah yang dinamakan ikatan yang muncul karena sebuah referensi. Ikatan antara mereka dengan sahabat kentalku sangat intim (bukan dalam pengertian seks, moron!). Pinjaman tanpa syarat yang mereka lakukan adalah buah dari referensi sahabatku (Ali).

Kamu pusing dengan kata-dan kalimatku?

Begini saja: karena Ali sahabatku, maka Ali mereferensikan diriku pada dua orang sahabatnya yang belum kukenal. Dan referensi itu berhasil. Hal ini pun terjadi di dunia ketika China masih berbentuk kekaisaran, ketika stempel atau plakat seorang kaisar atau perdana mentri menjadi mantra pembuka setiap gerbang dan pintu. Demikian juga di dunia triad, mafia atau di dunia keseharian kita, di dalam ikatan geng bermotor, ikatan vespa borok, komunitas pecinta alam: sebuah keajaiban yang terangkum dalam sebuah ikatan bernama persahabatan.

Dalam jilid-jilid kehidupan di kampus, aku pun merasakan keajaiban ikatan tersebut. Hanya dengan mengatakan bahwa seseorang lelaki adalah teman dekat sahabat SMA ku: Alvin, aku bisa membelanya dikala ia merasa lapar sementara tak ada se-sen pun uang dikantongnya. Ia pun sebaliknya. Lain waktu aku didatangi oleh teman dekatnya Alvin yang bernama Reinhard. Apa yang ia katakan saat aku terlarut konflik? “Kalau ada apa-apa, nanti gue bacok orangnya! Bilang aja Van!”

Ikatan ini kasat mata. Immaterial, dan susah dimengerti.

Orang tuaku, ibuku seringkali bercerita pada Ira, bahwa aku bersedia menahan lapar, meminjamkan uang, tak mempedulikan baju atau sweater kebangganku dipinjam sampai tak kembali oleh teman-teman dekatku. Bahwa aku terlalu mementingkan orang lain ketimbang diriku sendiri (seperti halnya sahabat-sahabatku yang lebih mementingkan diriku ketimbang dirinya). Tujuan –beliau bercerita itu—tak lain agar aku tak melakukan kembali perbuatan-perbuatan yang baginya kurang masuk diakal, --terlebih saat ini aku sudah berkeluarga.

Ibuku tak memahami hal itu. Ya, aku tak begitu mengetahui cara ia dibesarkan, tetapi yang kuketahui pasti, ia tak memiliki sahabat. Dalam hidupnya ia hanya memiliki kawan, memiliki teman.

Kawan tentu berbeda dengan sahabat.

Dulu aku menduga tidak memiliki sahabat akan membuat hidup seseorang kesepian, kini kupikir tidak. Aku memahami hal itu dari istriku. Karena Ira tidak merasa memiliki sahabat (sebelum menikah denganku) dan dia tidak merasa salah dengan hal itu. Ira tidak merasa sepi karena hal itu, baginya biasa. Maka, wajar saja jika aku marah kepada kekasihku, istriku saat ia mengomentari hasil kunjunganku ke Jakarta.

***

Beberapa minggu lalu, salah seorang temanku ditangkap atas berbagai macam tuduhan. Aku tak begitu mengenalnya selain sebatas hubungan via yahoo.messenger atau dulu, dua atau tiga tahun yang lalu ketika melakukan diskusi usai melakukan rally dari lapangan Merdeka menuju Bundaran HI.

Hubunganku dengannya tidak begitu dekat. Kupikir kami, hanya saling menghormati dan diikat oleh ikatan persaudaraan, tapi diluar itu aku memiliki seseorang yang dekat dengannya, dengan istrinya. Disinilah kesetiaanku diuji. Kesetiaanku akan ikatan merasa perlu untuk dibuktikan.

“Udah tau kemaren nggak bisa ketemu, terus nanti kalau ke sana lagi malah nggak ketemu lagi.”
Malam itu Ira membombardirku.

Tensi ku naik. “Pantes aja kalau dirimu, nggak punya sahabat!” balasku ketus. “Jangan pernah menyamakan perlakuan dirimu dengan perlakuanku pada sahabat-sahabatku! Pada teman-temanku!” Aku marah padanya. Di satu sisi aku menyesali kata-kata ketus dan sinis yang terlanjur kulampiaskan padanya.

Malam itu kami saling berdiam diri. Tenggelam di dalam diri masing-masing, memikirkan masak-masak apa yang telah kami pertengkarkan.

* * *

Kukatakan sejujurnya bahwa semenjak memiliki anak, aku mempertimbangkan banyak hal saat ingin memenuhi janji ikatan pada sahabat-sahabatku.

Aku tidak bisa memberi banyak hal, tak bisa habis-habisan memenuhi kebutuhan material atau pinjaman seandainya mereka mengalami kesempitan, karena akupun wajib menjadi pendukung kebutuhan material keluargaku.

Aku tidak bisa mempertaruhkan, membenturkan keduanya: sahabat atau keluargaku. Aku harus membagi, adil, berada di posisi tengah dan akan terus berusaha hingga suatu saat aku bebas secara finansial dan tak mesti setengah-setengah membantu lagi, tak perlu lagi mempertimbangkan membantu mereka secara utuh.

Aku tahu, istriku pun lebih dari tahu bahwa bulan ini kami harus mengetatkan ikat pinggang demi memenuhi kebutuhan, dan beberapa waktu setelah pertengkaran terjadi, Ira memberiku toleransi.

Bukan, bukan, karena ucapan “Jangan pernah memintaku untuk menyamakan perlakuan dirimu dengan perlakuanku pada sahabat-sahabatku, pada teman-temanku!” bukan karena itu, tetapi karena munculnya sebuah pemahaman (aku bercerita padanya mengenai perlakuanku terhadap sahabat-sahabatku. Perlakuan sahabat-sahabatku terhadap aku, bahkan pada dirinya ketika kami pernah sama-sama ke Jogja. Untuk itu aku meminta istriku untuk memahami keinginanku menjenguk)

Sebuah pengertian datang merangkak, memperbaiki, dan semakin memperdalam hubungan kami. Ada sesuatu yang kasat mata telah terbangun. Aku membutuhkan toleransi, dan ia menyambutnya.

Aku mencintai istriku karena ia mau belajar, karena ia mau memahami, mau mendengarkan, mau mempelajari banyak hal yang membuat diriku berbeda dengannya.

Aku mencintainya sungguh-sungguh karena sangat sedikit orang yang dengan kesadaran penuh mau memperbaiki kelemahan-kelemahan dirinya. Aku mencintainya, menghormatinya sebagai salah seorang sahabat terbaik, --yang bahkan-- membuat aku sulit untuk membayangkan bagaimana kondisi diriku seandainya aku ditinggal mati olehnya.

Ketika pengertian itu telah terbangun, aku merasa lega, karena dengan hati lapang, tanpa ganjalan bahwa setengah kewajiban bisa ku tunaikan.

Aku akan menemuinya, tanpa membawa makanan, minuman, atau uang, kecuali niat ikhlas untuk terus menerus menguatkan ikatan.

(Hasilnya? Hm, kufikir yang dilihat Allah itu usaha, bukan hasilnya. :))

2 komentar:

  1. Fajar212 says:

    saya seakan membaca kisah saya sendiri bang. matur nuwun inspirasinya

  1. Seakan membaca kisah saat bertemu Nyi Blorong, bukan begitu Wiro? :D sama-sama bro.

be responsible with your comment