Aku Rindu

Posted: Jumat, 29 Oktober 2010 by Divan Semesta in
5


Demi cintamu ya Allah
Pada Muhammad nabimu
Ampunikah dosaku
Wujudkan harapanku


Kalau saja tidak ada vertigo yang mengingatkan atau Ira yang meng-ultimatum, mungkin sehari saya bisa minum kopi hingga tiga kali. Kalau dulu lebih ekstrim lagi sehari bisa sampai 7 gelas kopi plus rokok. Sekarang, lebih dari sehari sekalipun rasanya berdosa. Ada rasa tidak enak dihati, karna saya tidak bisa mengendalikan diri, mengendalikan pikiran.

27 Oktober 2010. Usai mengerjakan beberapa lembar kerja, saya membuka kopi Torabika susu dari saku kemeja. Di dalam sachet kopi yang dianggap abal-abal oleh pecinta kopi hitam itu, saya menemukan sebuah bungkusan kecil. Hati rasanya dag dig-dug.

Kamu yang punya kebiasaan teledor mungkin pernah merasakan hal ini: ketika kita benar-benar merasa kepepet, kemudian tak sengaja kita menemukan uang seratus, bahkan duapuluh ribu dikantong, rasanya hari itu keberuntungan datang. Meski kita tahu itu uang kita juga, uang yang terselip karena kealpaan, ketidarapihan kita, tetap saja rasanya gembira. Nah, beberapa tahun lalu, sewaktu masih bersarang di Malang, saya mengalami kegembiraan yang sama. Saya berseru ke Ira. “De, liat De! Dapet apa kita!” ujar saya hampir berteriak.

Kali ini pun, saya menerka, pastilah terdapat uang, karena saya pernah melihat iklan Torabika di televisi. Saya lantas membuka bungkusan itu dan … heibat, heibat dan dahsyat luar biasa enegnya. Isi bingkisan kecil itu ternyata hanya sehelai kertas berisikan pantun yang bahkan untuk menuliskannya di blog ini pun aku tak sudi tak. Sekarang kutak-mautak-mautak-mautak-mautak-mautak, kutak sudi-tak, ku tak suditak lagi gembira kalau menemukan bungkusan dari bungkus kopi meski pengharapan dotcom itu masih ada.

Dulu, waktu masih di Malang, waktu kami lagi kedodoran, waktu uang simpanan hampir menipis saya menemukan bungkusan yang sama. Meski ternyata didalam bungkusan yang berbentu selongsong itu hanya terdapat seribu rupiah, saya bisa membelikan lagi kopi sebungkus, dan menumbuhkan harapan. Bukankah para trainer dan para nabi selalu menyertakan harapan di sebagai dorongan untuk melakukan usaha dan tentu saja sebagai sebuah penghiburan.

Secangkir kopi menghibur saya, tetapi secarik pantun aneh untuk apa? Sial!

Well, untunglah esok tanggal 28. Itu artinya hari besok masih ada masa depan. Saya masih gajian.

***

Saudara-saudara! Kita sama-sama faham bahwa kadang hidup itu seperti roller coaster. Kadang naik kadang turun, tapi kalau saya nanya beberapa orang, mending diuji kaya atau diuji miskin, kebanyakannya milih diuji dalam kekayaan. Kekayaan dan kemiskinan itu fitnah dalam arti ujian. Meski saya memilih hal yang sama (diuji dalam kekayaan) namun apapun keadaannya mudah-mudahan saya dan keluarga mampu melampaui ujian itu.

Kebahagiaan itu ada di hati. Klise, tetapi memang begitu.

Kadang kita merasa kekurangan, padahal kalau orang melihat kita, mereka tidak merasa kita kekurangan satu apapun. Saya pikir, kalau kita sudah memenuhi kebutuhan standar kebutuhan, sudah bisa makan minum, tempat bernaung, seharusnya kita sudah bisa mendapatkan kebahagiaan, tapi kadang pikiran itulah yang menjadi ujian.

Ketika bisikan-bisikan negative datang, sepertinya kita perlu berpikir ke nol lagi: melihat apa yang kita punya. Saya katakan pada salah satu sahabat saya, bahwa kita memiliki istri yang baik, yang cantik, yang mengerti saya yang kadang sok-sok bijak, kadang kekanakan, kadang mesum kadang sok-sok seperti ustad: rajin kemesjid, rajin baca quran dan suka berkhutbah, kadang pemalas, kadang rajin luar biasa, kadang berani kadang nggak, kadang banyak duit kadang kepikiran buat ke New Zealand jadi tukang perah susu tidak apalah yang penting bisa beli rumah diatas 800 juta diperumahan tempat saya kerja. Kita perlu berpikir, memiliki anak yang lucu-lucu, yang sehat, yang kadang kalau lagi mumet di luar melihat senyumnya yang ikhlas bisa buat musim dingin jadi musim semi, menjadikan kesulitan di hati dan pikiran seolah seperti gletsier, meleleh, mencair.

Kita sebenarnya punya peluang untuk bahagia, meski kadang bisikan itu menjadi kendala.

Saya berharap saya merasa genap di hati, merasa cukup, merasa benar-benar bahagia, terbebas dari keinginan yang menjadikan kehidupan saya dalam kaya, dalam kesederhanaan, dalam kekurangan menjadi neraka jahannam di dunia. Saya berharap hati saya benar-benar gampang dicuci, disucikan.

Mengapa saya menulis ini? Karena saya benar-benar lagi merasa tidak bahagia. Kaya, sederhana, kekurangan sebenarnya bukan kendala utama. Saya merasa kehilangan orientasi. Saya ingin mengaji, mengkaji untuk menghidupkan kembali orientasi hidup saya, tapi rasanya sulit untuk menemukan pengajian atau kajian yang sesuai dengan yang saya inginkan. Setiap saya berusaha mengaji di satu tempat pastilah mental, setahun ini setiap saya diminta mengisi kajian keislaman atau siaran ada rasa yang kurang.

Ira bilang coba pelajari Quran, nggak usah memaksakan diri dulu untuk kembali (kembali disini mungkin hanya ira dan saya yang tahu). Saya rasa dia tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya bukan sekedar belajar Quran, tetapi saya ingin belajar dari orang yang benar-benar memiliki ilmu qurani. Ilmu yang murni. Saya ingin mempelajari dari yang benar-benar dasar, bukan dasar dalam pengertian dulu ketika saya mengkaji tetapi lebih dari itu: saya ingin ketemu Quraisy Shihab, ingin mengetahui benar-benar jauh mengenai pendalaman Qurani dan pembuktian-pembuktiannya yang lebih dari sekedar pembuktian Harun Yahya. Saya ingin mencari orang yang benar-benar memahami hadist. Kalau di sekitaran, saya hanya menemukan orang-orang baik yang melakukan kompilasi. Bukan orang yang memiliki disiplin atau spesialisasi tersendiri.

Saya merasa, memang benar apa yang dilakukan imam-imam madzhab terdahulu ketika melakukan pencarian terhadap ilmu Islam. Mereka mencari guru yang memiliki spesialisasi. Dan ini bukan berarti saya meremehkan yang tidak memiliki spesialisasi, karena saya sendiripun boro-boro punya spesialisasi.

Para pembimbing yang melakukan kompilasi, mengutip sana mengutip sini tanpa memiliki disiplin ilmu keislaman yang spesifik tetaplah musti ada sebagai kunci pembuka, sisanya --setelah orang-orang benar-benar tertarik dengan islam-- maka seseorang harusnya melakukan eksplorasi lebih dalam, mencari guru di atas guru, bukannya stagnan.

Hm, banyak pekerjaan rumah untuk saya.

Saya benar-benar khawatir hidup saya dihabiskan hanya untuk mengeluh dan mengeluh saja, di tulisan ataupun saat ketemu orang, dan itu benar-benar membosankan, menyebalkan.

Apakah mungkin, kalau nantinya saya memiliki kesempatan untuk bertemu guru yang baru, yang memang memiliki disiplin ilmu, hidup saya tidak menjadi uring-uringan lagi? Setidaknya untuk saat ini mungkin ya, tapi saya pun tahu sebenarnya kalau sumber kebahagiaan itu ada dipikiran ada di hati. Meski setinggi-tingginya orang memiliki ilmu, kalau dihatinya terdapat penyakit hati, tetap saja dia akan sulit mendapatkan kebahagiaan.

Kedengkian, iri hati, kesombongan, ujub, riya adalah beberapa diantara penyakit hati. Saya memiliki kesemua itu, dengan kadar yang berbeda dengan yang orang lain punya.

Kemarin Ira bercerita tentang kakaknya yang didiamkan oleh tetangga kampungnya karena membuat pagar rumah (padahal pagar itu tidak tinggi. Sepinggang juga tidak sampai. Tetangganya menggosip kesana kemari dan mengatakan kalau mereka (kakaknya Ira) itu orang kaya baru. Ini penyakit hati. Itu dengki. Saya sih bersyukur melihat beberapa sahabat saya berhasil dalam kehidupannya. Setidaknya melampaui saya dari beberapa sisi, entah spiritual atau material.

Saya senang ada beberapa yang sudah memiliki rumah yang baik bahkan memiliki kendaraan yang sedang saya taksir, memiliki keluarga yang menarik pula. Saya senang mendengarnya dan berharap mereka menjadi salah satu pembuka jalan bagi beberapa teman atau sahabat lain yang situasi hidupnya seolah-olah masih dalam peperangan medapatkan makanan dan penghidupan yang layak.

Saya pun bahagia melihat kehidupan beberapa sahabat yang dengan kesederhanaannya, dengan kekurangannya mampu menggali kegembiraan yang Allah tebarkan pada mereka.

Saya tidak khawatir degan bisik negatif semacam itu. Saya sudah terbebaskan. Yang saya khawatirkan kedengkian itu tumbuh ketika saya melihat seseorang. Sebagai contoh, saya ngerasa sebal dengan Ustad Jefry, uh, mukanya menyebalkan sekali, melihat nya seperti melihat duit, bicaranya seperti orang yang…,yah, susah untuk diucapkan pokonya. Nah itu kedengkian. Apa urusannya saya dengan ustad Jefri. Apa adanya dia merugikan saya? Kan tidak? Hal yang sama berlaku bagi Zainuddin MZ. Saya pikir ini adalah hasil dari kesombongan, semacam bisikan. Semacam yuwaswisu fi sudu rinnas. Itu kesombongan yang saya takutkan, kesombongan dan mungkin ada se-nila dengki.

Kadang kalau saya melihat tulisan-tulisan yang terkesan revolusioner muncul juga rasa sebal (ini tinggi hati). Kadang kalau melihat terbitan-terbitan tulisan majalah Islami muncul bisikan: yah, itu lagi itu lagi isunya, bosan! Tapi kalau untuk kecabulan orang-orang DPR, nafsunya sama uang saya tidak mau peduli, perilaku mereka sudah tidak ngefek. Peduli amat mereka mah nggak akan sadar kecuali kalau dimatiin, pas pensiun atau kena azab! Saya tidak lagi begitu peduli pada intrik-intri politik siapa yang bakal menang dalam rapat akbar partai democrat atau partai kebo, atau partai kencing kuda, karena pikiran saya praktis, kalau Negara ini ancur mungkin kita baru bisa hidup benar.

Kadang kalau mendengar orang semangat empat lima, komat-kami lagu Wali: bapak-bapak ibu ibu, siapa yang punya anak…, atau The Bagindas, atau lagu Dewa 19 atau lagu rock tahun 90-an macam Bon Jovi, macam Metallica, macam melihat orang bersemangat, bersiul-siul mendegar lagu Scorpion, membuat saya tinggi hati, karena sekarang saya menganggap kuping saya berkualitas, merasa beda sendiri untuk lebih memilih KOIL, Anti Flag, Cold Play atau Purgatory untuk menggantikan nasyid yang suka saya auo-auo-kan atau saya sgrok-sgrok-kan meniru suara babi mengatikan suara cekidap-cekidup, pom pom pom yang menggelikan.

Kadang ketika mengatakan tidak begitu menahu acara televise, Indonesia Got Talent yang lagi ngetrend, Cinta Fitri, Anakku Tertukar, atau apalah, lalu saya membicarakan acara NatGeo atau BBC, terselip tinggi hati. Kadang kalau memakai baju hitam bersablon, baju berwarna bersablon tulisan-tulisan yang terkesan radikal ketika berjalan ditengah tengah saudara saya yang melakukan demonstrasi, merasa bagaimana gitu jika melangkah di mall mall apalagi kalau ketemu gerombolan wanita berjilbab. Padahal bagi muslim baju tidak sekedar lulus label MUI, ada sertifikat sesuai standar syariat, menggunakan gamis, celana kutung atau baju kaus (seperti yang saya bilang). Menjadi muslim berarti menjadi orang yang selalu berusaha menata hati. Atau kadang ketrika berhadapan dengan orang yang ekstrim mempercayakan pengobatan pada herbal, mendengar orang melecehkan industri farmasi hasil penemuan abad 21 hampir-hampir saya sulit menahan senyum sinis. Mengasihani mereka karena kekurangan akses ilmu, dan bersyukur bahwa saya memiliki cara pandang yang baik dalam memadukan herbal dan pengobatan modern.

Susah juga jadi masnusia yang hatinya seluas semesta.

***

Dosa itu pasti, tapi amalan belum tentu pasti diterima karena yang paling berat itu berperang menggempur hawa nafsu, menahan birahi, mengontrol kedengkian, iri dengki kesombongan, tinggi hati yang terselubung.

Benarlah Rasulullah ketika pulang dari perang kemudian mengatakan peperangan yang paling hebat itu adalah peperangan untuk memenangkan Allah di atas segalanya. Perang terbesar itu jauh didalam pikiran kita, di aliran darah dan hati kita. Tidak dimana-mana. Benar juga itu film Devil Alpuket, bahwa bisikan itu menggempur hati, disetiap masa setiap keadaan, menyatu dengan darah dan kehidupan, menyelinap, karenanya kita memang membutuhkan pertolongan Allah: meminta dan selalu meminta padanya, mencermati dan menauladani kekasihnya.

Sekarang saya lebih banyak berpikir lebih dulu tentang diri sendiri. Ketika stagnan, kembali melakukan pengembaran di dalam diri, melakukan uzlah karena saya masih merasa perlu memperbaharui orientasi hidup. Saya menjadi merasa kecil atas segala kepicikan saya, kesombongan, dengki dan tinggi hati yang terselubung, tetapi dalam kekecilan itu saya berusaha mencari makna baru atau lebih tepatnya menyegarkan kembali pemaknaan yang dulu telah saya dapatkan, hanya caranya sedikit berbeda.

Semoga saya memiliki waktu untuk menyembuhkan diri, membrasso Karat, sambil Menunggu Hujan Reda, Semoga Saya Disembuhkan.


Siapa yang cinta pada nabinya
Pasti bahagia dalam hidupnya.

5 komentar:

  1. Anonim says:

    saling mendoakan bang...semoga jalan yang kita tempuh lurus menujuNya...manusia hanya bisa berdoa dan berusaha...semoga Allah meninggikan derajat kita...amin

  1. Ora et labora, kalau kata Vicky Sianipar sih, dan doa itu dikabulkan untukmu juga. :)

  1. Anonim says:

    lama g nongol tulisannya...salam kenal bung divan...pembaca OM di sby :)

  1. Anonim says:

    Ira bilang coba pelajari Quran, nggak usah memaksakan diri dulu untuk kembali (kembali disini mungkin hanya ira dan saya yang tahu).


    saya juga "ingin kembali"

be responsible with your comment